Ekonomi Indonesia Melambat, Sinyal Menuju Resesi Teknikal?
JAKARTA, investortrust.id – Sesuai prediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2025 melambat, hanya tumbuh 4,87% secara tahunan (year on year/yoy),sedangkan secara kuartalan (qtq) justru minus 0,98% alias terkontraksi. Apakah ini merupakan sinyal ekonomi Indonesia menuju jurang resesi?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pertumbuhan positif terjadi di seluruh lapangan usaha, kecuali di sektor pertambangan. PDB Indonesia kuartal I-2025 atas dasar harga berlakutercatat sebesar Rp 5.665,9 triliun dan atas dasar harga konstan Rp 3.264,5 triliun.
Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 ini menjadi yang terendah secara kuartalan sejak kuartal I-2015 yang mencapai 4,83% secara tahunan, di luar saat pandemi Covid-19 yang terkontraksi-0,69%.
Realisasi laju pertumbuhan PDB Indonesia kuartal I-2025 berada di bawah target dan mendekati prediksi Bank Dunia dan IMF. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan hanya 4,7%.
Indonesia tidak sendirian. Ekonomi dunia juga mengalami kontraksi dan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia sudah beberapa kali di revisi. IMF dalam outlook bulan April 2025 sudah merevisi turun pertumbuhan ekonomidunia. IMF memprediksi ekonomi dunia tahun ini hanya tumbuh 2,8%.

Sektor jasa pertambangan terkontraksi -1,23% dengan andil terhadap PDB sebesar 8,99%. Kontraksi terjadi karena harga batu bara turun baik secara kuartalan dan tahunan, masing-masing 21,28% dan 13,43%. Penurunan juga terjadi pada nikel, secara kuartalan turun 2,47% dan tahunan melemah 6,28%.
Pertumbuhan tertinggi terlihat pada sektor lapangan usaha pertanian yang tumbuh 10,52% secara tahunan dengan andil 12,86% terhadap PDB. Sektor jasa lainnya tumbuh 9,84% secara tahunan dengan andil terhadap PDB sebesar 2,11%. Sementara, sektor jasa perusahaan tumbuh 9,27% dengan andil ke PDB sebesar 1,98%.
“Lapangan usaha utama yang memberikan terhadap PDB adalah industri pengolahan, perdagangan, pertanian, konstruksi, (dan pertambangan) dengan total 63,96% terhadap PDB,” ujar dia.
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang jadi penyumbang utama PDB yaitu sebesar 54,54% hanya tumbuh 4,89% yoy. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi yang berkontribusi terhadap 28,03% terhadap PDB hanya tumbuh melambat 2,12%.
Amalia menilai perlambatan investasi terjadi karena investor menunggu kepastian usai terjadi kondisi perekonomian global yang tak menentu. “PMTB relatif melambat karena investor kemungkinan masih wait and see dengan perkembangan ekonomi global. Secara siklus, investasi di awal tahun biasanya relatif tak terlalu tinggi dibandingkan kuartal berikutnya,” kata dia.
Sementara itu, ekspor mampu tumbuh 6,78% secara tahunan dengan kontribusi terhadap PDB sebesa 22,3%. “Ekspor tumbuh, didorong ekspor nonmigas dan wisatawan mancanegara dan konsumsi rumah tangga didorong karena liburan Ramadan dan Lebaran,” ujar dia.
Kontraksi terjadi pada konsumsi pemerintah. BPS mencatat pertumbuhan konsumsi pemerintah turun -1,38% dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 5,88%. “Kalau kita bandingkan secara year on year, di saat triwulan pertama tahun lalu ada belanja pemerintah yang cukup besar terutama karena pemilihan umum,” kata dia.
Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) masih tumbuh pada kuartal I-2025. Konsumsi LNPRT tumbuh 3,07% dengan andil terhadap PDB sebesar 1,39%.
Dari sisi domestik, PMI Bank Indonesia (BI) menunjukkan berada di zona ekspansif 51,67. Di sisi lain, penjualan listrik juga tumbuh 9,35% yoy, indeks penjualan eceran riil tumbuh 1,01% yoy. “Tapi penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing terkontraksi 2,99% dan 4,74% secara tahunan,” kata Amalia.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan pertumbuhan ekonomi ini patut disyukuri. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap tertinggi nomor kedua setelah China yang sebesar 5,4% secara tahunan pada kuartal I-2025.
“Kita masih di atas Malaysia yang 4,4% (secara tahunan) kemudian Singapura yang 3,8%, Spanyol yang 2,9%. Khusus untuk Asean, kita sedikit di bawah Vietnam,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Menteri BUMN Erick Thohir juga menilai pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal I sebesar 4,87% (yoy) cukup baik terutama apabila dikomparasi dengan negara-negara lain, Apalagi, saat ini dunia tengah dihadapkan dengan ancaman perang dagang global,
Selain itu, Erick menyebut fundamental perekonomian Indonesia cenderung bergerak positif. Indeks harga saham gabungan (IHSG) serta nilai tukar rupiah rupiah terhadap dolar AS berbalik menguat.
Faktor Peralihan Pemerintahan
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan memang terdapat pola penurunan pada kuartal I tiap pemerintahan baru. Ini berkaca pada penurunan yang terjadi pada kuartal I-2015, era di mana Presiden Joko Widodo menjalani APBN pertamanya sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tetapi, Bhima memiliki catatan persamaan. Menurutnya, pada era peralihan kepemimpinan SBY ke Jokowi, terdapat harga komoditas yang jatuh. Kondisi ini sama dengan masa saat ini. Faktor lainnya yang muncul dalam pengamatannya yaitu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
“Juga ada ada faktor efisiensi belanja yang berlebihan (sehingga) mengganggu pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Bhima Yudhistira melihat adanya gejala resesi teknikal pada kuartal berikutnya. “Sektor industri pengolahan yang tertekan menjadi sinyal berlanjutnya tekanan ekonomi. Skenario resesi teknikal harus dihindari,” ujar Bhima.
Sinyal resesi teknikal ini tercermin pada industri pengolahan yang cenderung mengurangi bahan baku serta efisiensi berbagai biaya produksi termasuk tenaga kerja. Tekanan dari perang dagang memang menjadi salah satu sebab, namun pemerintah perlu serius memberikan perlindungan bagi kelas menengah, rentan, dan miskin.
Perlambatan ekonomi karena faktor peralihan kepemimpinan juga diakui juga akademisi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Menurutnya, pada tahun 2014-2016, pertumbuhan ekonomi dunia melemah dan harga komoditas yang merupakan andalan ekspor utama Indonesia turun drastis hampir separuhnya. Ini memengaruhi pertumbuhan ekonomi kita saat itu.
“Pada saat yang bersamaan apetite investor asing untuk berinvestasi di Indonesia juga mengalami penurunan,” ujar Wijayanto kepada investortrust.id.
Kondisi saat ini agak lain, tren perlambatan sudah mulai terlihat sejak pertengahan 2024, yang disebabkan oleh faktor domestik terutama perlambatan daya beli dan peningkatan jumlah PHK. “Dan tren tersebut terus berlanjut, bahkan berpotensi semakin menantang akibat Trump trade war,” ujar dia.
Secara terpisah, ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan perlambatan pertumbuhan investasi bangunan dan struktur anjlok tajam menjadi 1,35% secara tahunan disebabkan oleh penundaan proyek infrastruktur pemerintah. Ini tercermin dalam perlambatan ekspansi sektor konstruksi.
Di sisi lain, komponen lain seperti investasi kendaraan dan produk kekayaan intelektual mencatat pertumbuhan yang lebih kuat.
Sedangkan Senior Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal menilai pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 menunjukkan laju perlambatan yang terjadi sejak kuartal III-2021. “Permintaan domestik kurang optimal serta kinerja investasi yang melambat selama periode pascahari raya,” kata Faisal, Senin (5/5/2025).
Faisal mengatakan konsumsi rumah tangga yang memiliki distribusi sebesar 54,5% menunjukkan “kelelahan”. Keyakinan konsumen melemah. Di sisi investasi, pebisnis tetap dibatasi oleh suku bunga yang tinggi, hambatan regulasi, dan ketidakpastian global.
Dalam pandangan Kepala Ekonom Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, sulit bagi pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 5% hingga akhir tahun dengan kondisi seperti ini. Pertumbuhan ekonomi ini mengalami tekanan karena masing-masing faktor pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi.
Daya beli masyarakat mengalami penurunan. Gelombang PHK yang terjadi sejak awal tahun menjadi indikator yang perlu diwaspadai agar tidak berkelanjutan. “Apindo mencatat lebih dari 40 ribu tenaga kerja mengalami PHK sejak awal tahun,” kata Ajib.
PR Pemerintah
Meski ekonomi berada dalam kondisi perlambatan, program AstaCita Pemerintahan Prabowo harus jalan guna merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula 8 program pemerintah yang penting, seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, Makan Bergizi Gratis, program kesehatan, pendidikan, pembangunan desa dan UMKM, serta akselerasi investasi.
Tidak mudah mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi hingga menembus 6%, apalagi 8% pada tahun 2029. Mengacu prediksi Bappenas, PDB tahun ini diprediksi 5,2%, tahun depan melonjak ke 6,3%, kemudian tahun 2027-2029 berturut-turut 7,5%, 7,7%, dan 8%.
Tapi, bagaimanapun kita harus realistis. Sebab, fakta memperlihatkan bahwa kondisi global masih diwarnai ketidakpastian. Daya beli masyarakat belum bangkit, bahkan menurun, terutama kelas menengah. PHK masih berlangsung. UMKM belum bangkit. Investasi asing (FDI) masih belum meyakinkan. Pemerintah masih asyik dengan efisiensi. Danantara yang menjadi tumpuan pun belum memperlihatkan tajinya.
Atas dasar itu, agar pertumbuhan ekonomi bisa melaju lebih kencang, pemerintah perlu mengoreksi kebijakan efisiensi anggaranyang terlalu ekstrem. Ketika daya beli masyarakat turun, belanja pemerintah harus meningkat. Pemerintah juga mesti lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan. Jangan membuat blunder. Penghapusan outsourcing negatif bagi dunia usaha. Wacana penghapusan TKDN perlu dikoreksi kembali. TKDN justru upaya untuk memperkuat industri dalam negeri dengan peningkatan kandungan lokal.
Selain itu, perlu kebijakan khusus untuk menggerakkan UMKM. Misalnya, melakukan business matching secara masif agar UMKM ada induknya. Lebih tegas dalam upaya melancarkan doing business, kecepatan memulai usahabagi investor. Yang tidak kalah penting, tindak tegas premanisme berbaju ormas. Konsep Indonesia Incorporated janganhanya wacana. Lebih dari semua itu, pemerintah perlu segera menggulirkan sebuah paket stimulus ekonomi yang komprehensif. ***

