Pentingnya Generasi Muda Belajar Transisi Energi Bersih yang Adil dan Inklusif
JAKARTA, investortrust.id - Partisipasi aktif dari sektor pendidikan memiliki peran penting dalam percepatan transformasi energi terbarukan yang adil dan inklusif. Di tengah meningkatnya bencana iklim dan perubahan suhu ekstrem, pembelajaran di sekolah mampu mengaitkan antara krisis iklim dan kehidupan sehari-hari.
Komunitas kaum muda untuk transformasi energi bersih dan terbarukan yang adil dan inklusif, RE-Agent, memandang bahwa pengembangan pengetahuan terkait energi terbarukan dan prinsip transisi energi yang berkeadilan adalah langkah pertama agar pelajar dan kaum muda ikut mendorong transformasi energi untuk masa depan yang lebih baik.
“Generasi Z adalah populasi yang paling besar dan orang muda, baik siswa SMP maupun SMA harus diberi ruang untuk mempelajari isu ini karena sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ketika menyoal dampak krisis iklim, masyarakat marjinal yang paling rentan. Di sini anak muda bisa ikut menyuarakan agar masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk hidup lebih layak dan sehat,” ujar Ketua RE–Agent, Valensiya, Jumat (30/5/2025).
RE-Agent bersama organisasi masyarakat sipil Trend Asia mempercayai bahwa pelajar dan kaum muda mampu membentuk masa depan yang berkelanjutan di Indonesia. Melalui pameran energi terbarukan di SMAN 3 Jakarta, “RE–Agents Goes to School” memulai pendidikan kritis energi terbarukan yang mengajak siswa dan sekolah mendukung langkah kecil menuju keberlanjutan.
Baca Juga
IUP Batu Bara untuk Hasilkan Energi Bersih Tetap Perlu Diberikan
“Pendidikan ini adalah hal yang jarang dilakukan, karenanya ia menjadi sebuah kesempatan yang harus dimaksimalkan apalagi bagi siswa SMAN 3 Jakarta, di mana kegiatan pendidikan energi terbarukan ini dilaksanakan, untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai transformasi energi bersih dan terbarukan,” ujar Kepala Sekolah SMAN 3 Jakarta, Mukhlis.
Pendidikan kritis soal transisi energi bersih terbarukan pun semakin krusial. Sebab, krisis iklim menjadi tantangan yang akan semakin masif dihadapi generasi muda di masa mendatang. Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) menyatakan tahun 2024 sebagai tahun paling panas dalam catatan dan diikuti peristiwa el-nino yang berlangsung sejak akhir 2023 sampai 2024.
Kenaikan suhu ini dipengaruhi oleh pelepasan karbon dioksida (CO2) di atmosfer yang meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara dan gas, di sektor energi dan melemahnya penyerapan CO2. Dampak krisis iklim, seperti naiknya suhu, perubahan cuaca, banjir di tengah kemarau, dan kekeringan yang intensitasnya semakin sering membawa pertanyaan besar atas keseriusan dunia memenuhi komitmen Paris Agreement.
“Alih-alih kita segera beralih ke sumber energi yang lebih bersih, pemerintah baru saja mengumumkan rencana ketenagalistrikan 2025-2034 (RUPTL) yang malah menambah kapasitas penggunaan energi fosil, dengan PLTU batu bara sebesar 6,3 GW dan PLTG sebesar 10,3 GW–belum termasuk penambahan di kawasan industri,” sebut Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian.
Menurutnya, hal itu justru mengunci Indonesia dalam ketergantungan pada energi fosil. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang jauh lebih besar, yakni kira-kira mencapai 3.686 GW. Apalagi, energi terbarukan khususnya surya dan angin, juga 15% lebih murah ketimbang energi fosil.
Baca Juga
Transisi Energi Harus Dibangun Beriringan dengan Penguatan Hilirisasi

