Bukan Cuma Eksportir, Indonesia Mesti Jadi Penentu Harga Timah Dunia
JAKARTA, Investortrust.id - Komisi VI DPR menyatakan dukungan terhadap langkah perbaikan tata niaga timah, sehingga mampu mendorong Indonesia mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan harga timah global.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama PT Timah Tbk dan Holding Pertambangan MIND ID, DPR mendorong pembentukan aliansi pengatur harga bersama negara produsen utama timah lainnya.
Secara global, di samping China dan Peru, Indonesia termasuk dalam tiga negara produsen terbesar timah. Oleh karenanya, Indonesia mampu menjadi salah satu global price setter untuk komoditas timah.
Baca Juga
Hilirisasi Jalan Terus, MIND ID "Gaspol" Tata Kelola Timah Nasional
Pengaruh Indonesia sangat terlihat pada periode 2024. Produksi timah Indonesia yang menurun dari 65.000 ton pada 2023 menjadi 45.000 ton pada 2024, ikut berkontribusi pada kenaikan harga timah dunia dari harga rata-rata US$ 26.583 per ton pada 2023 menjadi harga rata-rata US$ 31.164 per ton pada 2024.
Ketua Komisi VI DPR Anggia Erma Rini menyampaikan Indonesia adalah salah satu pemilik cadangan dan produsen timah terbesar dunia, tetapi belum memiliki kendali cukup terhadap mekanisme penentuan harga pasar internasional. "Kondisi tersebut menjadi sinyal penting bahwa tata kelola dan tata niaga timah harus segera direformasi, termasuk penetapan harga," kata dia dalam keterangannya, Senin (19/5/2025).
Menurutnya, PT Timah Tbk bersama Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID harus menjadi salah satu aktor di garda terdepan perbaikan tata kelola sehingga mampu mendorong Indonesia mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan harga timah global.
“Kita ini pemilik cadangan utama dunia, tetapi tidak punya kuasa harga. Dunia sangat bergantung pada kita, tetapi kita bukan price setter. Ini harus diubah. Kita ingin Indonesia tidak hanya jadi penyedia bahan baku, tetapi penentu harga global,” tegas Anggia.
Anggota Komisi VI DPR Rieke Dyah Pitaloka berpendapat ketergantungan Indonesia pada bursa timah dunia menjadi salah satu aspek tata niaga yang perlu diperbaiki. Pasalnya, pada bursa timah dunia, Indonesia tak memiliki posisi strategis untuk menentukan harga.
“Bursa timah justru tidak memberi keuntungan maksimal bagi PT Timah. Kita perlu mengevaluasi ulang kebijakan itu agar Indonesia bisa menentukan nilai tambah dari sumber daya alamnya sendiri,” jelas Rieke.
Baca Juga
Target Harga Saham Timah (TINS) Direvisi Turun, padahal Laba Melambung, Ada Apa?
Lebih lanjut, Anggota Komisi VI DPR Herman Haeron menambahkan, hilirisasi terintegrasi hingga sektor industri manufaktur Indonesia merupakan aspek yang perlu diperkuat.
Indonesia harus mampu memastikan produksi timah dapat terserap lebih baik oleh pasar dalam negeri, sehingga membantu menstabilkan harga di pasar global. Herman juga menilai, kemitraan internasional dalam langkah ini juga perlu dilakukan.
“Kita harus berpikir global. Kalau perlu, PT Timah harus bangun kemitraan strategis dengan perusahaan-perusahaan besar di China atau Korea Selatan yang menggunakan timah untuk industri elektronik. Itu cara memperkuat posisi tawar kita,” kata Herman.

