Relaksasi Rapat di Hotel Dorong Konsumsi, Tapi Harus Terkendali
'
Oleh Muhammad Sirod
Fungsionaris Kadin Indonesia sekaligus Ketua Umum HIPI Jakarta Timur
INVESTORTRUST.ID - Kebijakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang kembali mengizinkan pemerintah daerah menggelar kegiatan dan rapat di hotel mendapat respons positif dari kalangan pelaku usaha. Penulis menilai langkah ini sebagai respons adaptif terhadap kebutuhan pemulihan ekonomi di sektor-sektor yang selama ini terdampak kebijakan efisiensi.
Kebijakan yang taktis ini memang dibutuhkan. Apalagi, ekonomi kita stagnan dengan pertumbuhan sekitar 4,8% year-on-year. Itu masih dalam batas bawah proyeksi lembaga dunia seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.
Baca Juga
Ada Ruang Fiskal
Penulis melihat pemerintah memiliki ruang fiskal, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mencatatkan surplus hingga Rp 24,4 triliun. Dalam konteks tersebut, kebijakan relaksasi kegiatan di hotel merupakan bagian dari upaya mendorong konsumsi domestik sebagai penggerak utama pertumbuhan.
Industri MICE — meeting, incentive, convention, and exhibition — memiliki efek ganda besar. Dari katering, transportasi, hingga pekerja informal semuanya terdampak negatif waktu rapat-rapat ditiadakan dari hotel. Itulah sebabnya, sekarang waktunya untuk diputar kembali.
Contohkan kondisi di Jawa Barat. Berdasarkan komunikasi langsung dengan pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia PHRI wilayah tersebut, setidaknya sudah ada tiga hotel yang harus tutup karena minimnya permintaan pascaditerapkannya kebijakan efisiensi.
Namun demikian, penting pula untuk mengawal pelaksanaan kebijakan, agar tidak keluar dari koridor efisiensi dan transparansi. Semangat efisiensi tetap perlu dijaga, meski jangan malah terlalu ketat sampai membunuh perputaran ekonomi.
Yang lebih penting sebenarnya bukan sekadar boleh rapat di hotel atau tidak, tapi sistemnya dibenahi. Jangan ada lagi praktik cashback, komisi siluman ke oknum, yang akhirnya membuat pelaku usaha juga jengah.
Dibedakan Rumah Tangga dan Negara
Kita juga perlu menyadari, pola pikir fiskal harus dibedakan antara rumah tangga dan negara. Belanja pemerintah justru dibutuhkan untuk mendorong ekonomi, selama dilakukan secara akuntabel dan produktif.
Negara ini beda dengan rumah tangga. Kalau konsumsi pemerintah tinggi, hal itu bagus asalkan efektif agar kita tidak terlalu tergantung pada utang baru. Maka itu, program-program strategis tetap dijalankan, sambil kebocoran dan praktik koruptif diberantas.
Khusus untuk sektor perhotelan, penulis berharap pemerintah tidak hanya memberi izin tersebut, tetapi juga mendesain kebijakan turunan yang menjaga tata kelola. Pelaku usaha tidak keberatan terhadap pengawasan, asalkan sistemnya adil dan tidak dimanipulasi.
Hotel bukannya minta dilepas liar, mereka hanya ingin ada kepastian. Kalau pemerintah mau efisien silakan, tapi musti tetap diberikan solusi untuk industri hotel tetap bertumbuh. Di sisi lain, tentu ada program pemerintah yang justru mungkin lebih efektif dilakukan di luar kantor, seperti pelatihan, pertemuan teknis, dan lain-lain.
Langkah ini seharusnya dilihat sebagai bagian dari rangkaian stimulus ekonomi yang lebih luas. Relaksasi aturan hanya awal, selebihnya perlu konsistensi dalam implementasi kebijakan yang adaptif terhadap kondisi ekonomi.
Ini bagian dari upaya menyalakan kembali mesin konsumsi. Yang penting bukan soal hotelnya, tapi bagaimana ekonomi daerah bisa bangkit lagi. Kalau ekonomi bergerak, otomatis usaha tumbuh, lapangan kerja terbuka. Itu yang kita harapkan bersama. ***

