Signal Genting Ekonomi Kuartal I, the Devil in the Details
Oleh Anthony Budiawan,
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
12 Mei 2025
INVESTORTRUST.ID - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 sebesar 4,87%. Sekilas, tidak terlalu buruk. Tidak terlalu beda dengan pertumbuhan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir ini yang juga sekitar 5%. Pertumbuhan ekonomi pada 2015 juga hanya 4,88%.
Tetapi, apa benar tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Apa benar pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 sebesar 4,87% baik-baik saja?
Angka 4,87% hanya sebuah angka, tidak bermakna sama sekali tanpa melihat data lebih detail. Seperti pepatah bilang, the devil is in the details.
Dari luar kelihatan masih bagus, tetapi bisa saja di dalamnya banyak masalah. Untuk itu, mari kita lihat bagaimana isi dari pertumbuhan Indonesia 4,87% tersebut.
Baca Juga
Pengamat: Premanisme Bikin Ekonomi Biaya Tinggi, Satgas Harus Tepat Sasaran
Serapan Dalam Negeri Melemah
Pertama, ekonomi ini terdiri dari dua sisi, yaitu sisi produksi dan permintaan atau konsumsi. Sisi produksi mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,87%. Tetapi, pertumbuhan konsumsi pada tiga bulan pertama 2025 ternyata hanya 4,05%. Artinya ada 0,82% dari hasil produksi tidak terserap atau terkonsumsi.
Sebagian besar dari jumlah tersebut, yaitu 0,60%, masih tersimpan di gudang produsen, yang dinamakan “persediaan”. Dalam hal ini, kita harus antisipasi produksi pada periode selanjutnya akan turun, karena produsen akan mencoba menghabiskan barang yang ada di gudangnya terlebih dahulu.
Produksi yang tersimpan di gudang (sebagai persediaan) tidak menjadi masalah, selama persediaan tersebut memang diproduksi untuk mengantisipasi permintaan yang membludak. Tetapi, produksi yang berlabuh di gudang persediaan akan menjadi masalah besar, kalau penyebabnya daya beli yang lemah, sehingga tidak mampu menyerap produksi. Sepertinya ini yang belakangan terjadi.
Konsumsi Pemerintah Kontraksi
Kedua, pertumbuhan konsumsi sebesar 4,05% tersebut terdiri dari dua komponen. Ini mencakup pertumbuhan konsumsi dalam negeri (domestik) dan pertumbuhan konsumsi luar negeri (ekspor-impor).
Pertumbuhan konsumsi dalam negeri, yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan konsumsi untuk investasi, hanya mencapai 3,22% saja. Posisinya: angka pertumbuhan triwulanan 3,22% ini merupakan yang terendah sejak 2011 sampai 2019 (sebelum pandemi baru Covid-19).
Dalam hal ini, ada dua catatan penting yang perlu digarisbawahi.
Baca Juga
Ketua Apindo Beberkan Dampak Besar Premanisme di Industri Jika Tak Segera Dihilangkan
Pertama, konsumsi pemerintah ternyata mengalami kontraksi 0,09%. Kedua, investasi hanya mampu mencatat pertumbuhan 0,65%, yang juga terendah sejak 2011 sampai sebelum pandemi 2019.
Jadi, ternyata, memang ada the devil in the details di dalam pertumbuhan 4,87% tersebut. Permasalahannya adalah pertumbuhan ekonomi domestik sangat lemah, dan kemungkinan besar bisa menjadi masalah serius di triwulan-triwulan selanjutnya.
Konsumsi pemerintah kemungkinan besar juga masih akan terkontraksi sampai akhir tahun ini. Hal ini lantaran penerimaan pajak tahun 2025 diperkirakan akan jauh di bawah target.
Sampai kuartal I-2025, penerimaan pajak baru tercapai sekitar 14,7%.
Tekanan Investasi Global
Investasi global juga diperkirakan masih belum bisa bangkit. Lonjakan tarif impor yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump hampir dapat dipastikan akan membuat ekonomi dan investasi global tertekan.
Terakhir, daya beli masyarakat nampaknya masih akan tertekan. Hal ini mengingat pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor media massa, ritel, dan manufaktur. Di lain sisi, investasi yang masih minim belum dapat menciptakan lapangan kerja baru sesuai harapan.
Semua ini mencerminkan kualitas pertumbuhan ekonomi 4,87% ternyata harus menjadi alarm bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Pertumbuhan ekonomi domestik yang sangat lemah dan investasi yang sangat rendah mencerminkan ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Untuk itu, masyarakat berharap pemerintah dapat segera mencari terobosan dan solusi efektif, agar dapat mengangkat ekonomi Indonesia menjadi lebih baik pada triwulan-triwulan selanjutnya. Ini termasuk memberantas premanisme dan ekonomi biaya tinggi yang menjadi keluhan kalangan industri. ***

