Pelemahan Pertumbuhan di Awal Periode Prabowo, Ternyata Juga Dialami Jokowi
JAKARTA, investortrust.id - Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 tercatat sebesar 4,87% secara tahunan. Pertumbuhan ekonomi ini menjadi yang terendah secara kuartalan sejak kuartal I-2015, di luar periode pandemi Covid-19.
Pada tahun 2015 pertumbuhan kuartal pertama tercatat hanya sebesar 4,83% secara tahunan. Sementara pertumbuhan ekonomi pada periode Covid-19 sempat mencatatkan kontraksi hingga -0,69%.
Mengomentari capaian pertumbuhan di kuartal pertama tahun ini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut ada kesamaan kondisi pelemahan ekonomi yang dialami masa-masa awal pemerintahan Prabowo Subianto, dengan masa awal pemerintahan Joko Widodo di tahun 2015.
Setidaknya ia berkaca pada penurunan yang juga terjadi pada kuartal I-2015, era ketika Presiden Joko Widodo mulai menjalani APBN pertamanya setelah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rampung menjabat.
Bhima juga mencatat adanya kesamaan faktor eksternal di kuartal pertama periode Joko Widodo menjabat, dengan yang dialami oleh Presiden Prabowo Subianto saat ini. Kesamaan tersebut berupa anjloknya harga komoditas, serta meruyaknya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Sekadar catatan saja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menikmati windfall profit dari kenaikan sejumlah komoditas perkebunan dan pertambangan. Dan kesempatan ini tak lagi bisa dinikmati oleh penerusnya, Presiden Joko Widodo. Begitu pun Presiden Prabowo Subianto yang kini menjabat, tak bisa menikmati renyahnya harga komoditas, yang tertekan oleh perang Rusia – Ukraina, hingga penerapan tarif oleh Donald Trump.
Baca Juga
Di luar situasi eksternal tadi, kata Bhima, ada pula special case yang disebabkan oleh efisiensi anggaran belanja yang menurut Bhima ‘berlebihan’, dan pada akhirnya menekan tingkat pertumbuhan. “Kasus khusus karena ada efisiensi belanja yang berlebihan (sehingga) mengganggu pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Kesamaan nasib yang dialami Prabowo Subianto dan Jokowi di era awal pemerintahannya ini juga diamini akademisi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Menurutnya, pada tahun 2014-2016, pertumbuhan ekonomi dunia melemah dan harga komoditas yang merupakan andalan ekspor utama Indonesia turun drastis hampir separuhnya, sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi RI.
“Pada saat yang bersamaan appetite investor asing untuk berinvestasi di Indonesia juga mengalami penurunan,” ujar Wijayanto kepada investortrust.id.
Ada sedikit perbedaan menurut Wijayanto, tren perlambatan yang terjadi saat ini sejatinya sudah mulai terbaca sejak pertengahan tahun lalu, yang disebabkan oleh faktor domestik terutama perlambatan daya beli dan peningkatan jumlah PHK. “Dan tren tersebut terus berlanjut, bahkan berpotensi semakin menantang akibat Trump trade war,” ujar dia.
Sebagaimana diberitakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang sebesar 4,87% dikontribusi dari konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,89% secara tahunan, diikuti Pembentuk Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi sebesar 2,12% secara tahunan, serta ekspor yang tumbuh 6,78% secara tahunan. Sementara impor bertumbuh 3,96% secara tahunan.
Di sisi lain konsumsi pemerintah turun atau - 1,38% secara tahunan dan konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tercatat sebesar 3,07% secara tahunan.
Baca Juga
IMF Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 4,7%, Istana: Tidak Masalah, Kita Percaya Diri
Jika dibandingkan dengan tahun 2015, saat itu pengeluaran konsumsi rumah tangga tercatat 4,99% secara tahunan, investasi hanya tumbuh 4,59% secara tahunan. Kontraksi dialami LNPRT sebesar -8,06% secara tahunan, juga ekspor tercatat -0,63% secara tahunan dan impor tercatat -2,58% secara tahunan.
Pada momen berbeda, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan pertumbuhan ekonomi ini patut disyukuri. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap tertinggi nomor kedua setelah China yang sebesar 5,4% secara tahunan pada kuartal I-2025.
“Kita masih di atas Malaysia yang 4,4% (secara tahunan) kemudian Singapura yang 3,8%, Spanyol yang 2,9%. Khusus untuk Asean, kita sedikit di bawah Vietnam,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan melemahnya perekonomian pada kuartal I-2025 terjadi karena aktivitas ekonomi pada kuartal-kuartal sebelumnya. Meski begitu, BPS menyebut pertumbuhan ekonomi 4,87% secara tahunan perlu dihargai di tengah kondisi perekonomian global yang tak pasti.
“Ada sektor yang tetap bisa bertahan dan tumbuh positif dengan kinerja baik dan ada sektor perlu dapat perhatian,” ujar Amalia.
Meski demikian, Amalia mengakui belanja pemerintah yang tak signifikan pada kuartal awal ini membuat daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi juga relatif rendah
“Ada realokasi anggaran yang dampaknya akan direalisasikan di kuartal II-2025 dan seterusnya, jadi karena di kuartal I ini ada proses administrasi yang direalokasi kegiatan pemerintah dan ekonomi lainnya,” kata dia.
Dari sisi investasi, BPS melihat adanya perlambatan investasi. “Bangunan gedung, investasi masih relatif baik. Hanya peralatan lainnya, kendaraan relatif melambat, mesin dan perlengkapan naik 7% dibandingkan kuartal I-2024, bangunan melambat 1,35%” ujar dia.

