Industri Asuransi: Bisnis Risiko yang Tak Mau Ambil Risiko?
Oleh Ana Mustamin,
mantan profesional/praktisi asuransi
INVESTORTRUST.ID - Setelah berkecimpung dua dekade di industri asuransi Indonesia, harus saya akui banyak hal yang tidak saya ketahui tentang industri ini. Terutama di kamar sebelah – di industri asuransi umum, karena selama ini saya berkecimpung di asuransi jiwa.
Saat ini, saya sudah berpindah kuadran, tidak lagi menjadi profesional asuransi. Kini, saya mengelola perusahaan sendiri, dan di perusahaan ini saya berurusan pekerjaan yang terkait dengan perairan Indonesia.
Dua per tiga dari wilayah negara kita adalah laut. Namun sayangnya, industri asuransi tidak mengenali risiko-risiko yang ada di laut.
Baca Juga
Permintaan Asuransi Ditolak
Di penghujung tahun 2024 lalu, saya membutuhkan asuransi untuk pekerjaan restorasi terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Terumbu karang di Papua mengalami kerusakan, karena kandasnya kapal pesiar Caledonian Sky.
Saya berdiskusi dengan banyak petinggi asuransi umum, dengan para direktur teknik yang membawahi underwriter yang bertugas memitigasi risiko, untuk memperoleh jaminan pelaksanaan (surety bond) pekerjaan. Setelah berdiskusi dengan banyak wakil perusahaan, kesimpulannya satu: permintaan asuransi saya ditolak. Tidak ada yang bersedia menutup pertanggungan asuransi restorasi terumbu karang tersebut.
Selama hampir enam bulan, saya mengikuti pekerjaan restorasi, dari hari ke hari. Perusahaan saya bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin, kampus yang memiliki Fakultas Kelautan yang mumpuni. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa, adalah satu dari sedikit ahli terumba karang terbaik yang dimiliki Indonesia.
Dari beliau, saya mendapatkan gambaran tentang pekerjaan merestorasi terumbu karang, yang ternyata pekerjaan yang menyenangkan dengan risiko yang minim.
Hampir semua ahli terumbu karang yang dilibatkan adalah diver profesional yang memahami perangai laut. Project Manager Dr Syafyudin Yusuf menjadikan menyelam sebagai hobi utama. Para diver ini secara berkala menyelam untuk menyaksikan keragaman hayati dan mengagumi keindahan biota laut yang dipersembahkan semesta.
Ini adalah pekerjaan yang menggembirakan banyak pihak. Ibu-ibu di kampung Yenbuba di Raja Ampat dengan senang hati terlibat dalam aktivitas berkebun karang (coral nursery), merangkai reef star – tempat bibit terumbu karang diikat, untuk kemudian diturunkan ke dasar laut.
Pemuda-pemuda setempat ikut berlatih selam dari profesional selam dan ikut menanam serta memantau perkembangan karang. Para turis asing di Raja Ampat dengan senang hati melibatkan diri dan belajar cara melakukan transplantasi terumbu karang.
Risiko apa yang dikhawatirkan oleh para pelaku asuransi Indonesia? Risiko ketidaktahuan akan potensi risiko? Mungkinkah kita baru belajar sebatas teori tentang risiko, tapi tidak mampu menakar risiko aktual? Mengapa para praktisi teknik/underwriter asuransi tidak membuka diri untuk belajar ke para ahli bidang tertentu, agar bisa membuat keputusan yang akurat?
Banyak Pekerjaan di Dasar Laut
Hari-hari ini, pekerjaan restorasi terumbu karang saya sudah rampung. Tinggal memantau perkembangan pertumbuhan karang, menggantinya dengan bibit baru jika ada yang gagal tumbuh.
Saya kini berpindah ke proyek yang lain, melakukan pekerjaan salvage untuk mengevakuasi bangkai kapal yang tenggelam. Saya pun kembali berburu jaminan asuransi ke perusahaan asuransi umum Indonesia. Saya akan kembali berdiskusi dengan banyak pelaku, yang secara umum saya tebak mungkin akan menolak pertanggungan ini.
Padahal, sejatinya, banyak jenis pekerjaan di dasar laut. Memasang pipa, memasang kabel optik, melakukan eskplorasi minyak, dan lain-lain.
Namun, seorang praktisi asuransi berujar ke saya, untuk segala jenis pekerjaan di laut, perusahaannya tidak bersedia meng-cover.
Ironi?
Sebuah ironi? Tentu saja. Dengan laut kita yang demikian luas, banyak masyarakat Indonesia memilih profesi nelayan. Saya tidak tahu seberapa banyak nelayan mendapatkan perlindungan asuransi. Mungkin tidak banyak.
Tapi yang saya tahu, kecelakaan yang menimpa nelayan di laut lebih kecil dibandingkan dengan kecelakaan lalu lintas di jalan raya, yang oleh WHO disebut sebagai pembunuh nomor 2 di dunia.
Setiap hari, ada saja kecelakaan lalu lintas di berbagai wilayah Indonesia. Dan anehnya, pelaku asuransi tidak melihat itu sebagai risiko yang menakutkan.
Risiko itu ada di mana-mana, dan karena itu usaha asuransi tumbuh dan berkembang. Yang dibutuhkan dari pelaku asuransi tentu saja bukan menutup pintu atas risiko itu. Bukankah risiko adalah inti sekaligus objek dari usaha asuransi itu sendiri?
Saatnya pelaku asuransi untuk terus mengembangkan pengetahuan tentang berbagai potensi risiko, memitigasi dengan tepat, untuk kemudian menentukan tingkat risiko dari sebuah objek pertanggungan. Asuransi di berbagai belahan dunia sudah sedemikian inovatif.
Sementara itu, kita masih jalan di tempat. Mungkin lantaran itu, kontribusi asuransi Indonesia ke produk domestik bruto (PDB) juga tidak mengalami perkembangan signifikan? (pd)

