Harga Smartphone Premium Naik, Merek China Makin Jaya di Indonesia?
JAKARTA, investortrust.id - Pasar smartphone Indonesia terus bergejolak di 2025. Di tengah tekanan ekonomi global dan nilai tukar rupiah yang fluktuatif, konsumen Tanah Air mulai mengalihkan perhatian mereka dari produk-produk premium seperti iPhone dan Galaxy, ke merek-merek China yang lebih ramah di kantong. Bukan hanya karena harganya yang lebih murah, tetapi juga karena fitur-fiturnya juga makin nendang.
Hal ini terlihat jelas dari harga jual iPhone 16 Pro Max yang mengalami kenaikan untuk varian tertentu. Kenaikannya pun berkisar Rp 250.000 dari waktu peluncurannya April 2025. Terbaru, giliran Samsung yang masih merahasiakan harga Galaxy S25 Edge di Indonesia.
Baca Juga
Samsung Resmi Luncurkan Galaxy S25 Edge, Kapan Hadir di Indonesia?
Erajaya, salah satu distributor resmi iPhone di Indonesia, masih belum merespons investortrust.id terkait kenaikan harga iPhone dua minggu pasca-peluncuran resmi. Mereka hanya memastikan kehadiran iPhone 16 sejalan dengan visi perusahaan untuk memperkuat ekosistem bisnis mereka.
“Kami telah menyiapkan ekosistem pendukung, termasuk berbagai aksesori pelengkap iPhone 16, sehingga pelanggan dapat langsung menikmati pengalaman yang optimal,” kata Corporate Secretary Erajaya, Amelia Alen, beberapa waktu lalu.
Di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China, analis pasar smartphone dan Senior Consultant di SEQARA Communications, Aryo Medianto, menyebut ada sejumlah faktor yang bikin harga smartphone premium meroket di Indonesia.
“Fluktuasi nilai tukar rupiah, kenaikan biaya komponen global seperti chipset, serta bea masuk yang tinggi di Indonesia membuat Apple dan Samsung lebih hati-hati dalam menetapkan harga. Mereka juga cenderung mempertahankan margin profit yang tinggi di tengah ketidakpastian,” ujarnya saat dihubungi Investortrust.id, Selasa (13/5/2025).
Di sisi lain, saat dua merek besar tersebut makin eksklusif, merek-merek China seperti vivo, Oppo, Huawei, hingga Infinix dan Tecno dari Transsion Group langsung memanfaatkan peluang. Mereka justru menawarkan smartphone kelas mid-range (menengah) dengan spesifikasi tinggi seperti kamera 108MP, layar AMOLED refresh rate 120Hz, baterai jumbo, dan pengisian cepat dengan harga mulai dari Rp 2–3 jutaan.
“Merek-merek China sangat cerdik memanfaatkan gap harga ini. Mereka masukkan fitur flagship ke lini menengah, yang memang paling dicari konsumen saat ekonomi sedang sulit seperti sekarang,” kata Aryo.
Mengutip Laporan International Data Corporation (IDC) Indonesia pada kuartal I-2025 mencatat Transsion Group mengalami pertumbuhan signifikan dan kini berada di posisi empat besar produsen smartphone terlaris di Indonesia. Penetrasi merek seperti Infinix dan Tecno makin kuat di kota-kota lapis kedua dan ketiga. Dalam data yang sama, segmen smartphone harga Rp 2–5 jutaan masih mendominasi pasar Tanah Air, mencakup lebih dari 65% total pengiriman.
Secara terpisah, Product GTM Huawei Device Indonesia, Hutomo Wibowo, menjelaskan Huawei terus berupaya menghadirkan teknologi terbaru untuk pasar Indonesia. Meski begitu, ia belum bisa memastikan kehadiran model kelas menengah dari Huawei dalam waktu dekat.
“Kami ingin sih itu (model kelas menengah) keluar. Kami akan berusaha mengeluarkan produk yang menarik bagi pasar Indonesia,” ujar Hutomo saat ditemui investortrust.id beberapa waktu lalu.
Ponsel Lipat dan Tipis: Tren Inovasi, tetapi Masih Mahal
Sementara itu, tren smartphone lipat dan tipis juga masih jadi sorotan. Ponsel lipat seperti Samsung Galaxy Z Fold5, OPPO Find N3 Flip, atau Huawei Mate X5 tetap menarik perhatian, terutama bagi pengguna yang ingin tampil beda dan update teknologi.
“Ponsel lipat tetap jadi simbol inovasi dan status. Tapi pasar Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga. Produk di atas Rp 20 juta tetap masuk kategori niche market,” beber Aryo.
Beberapa hal membuat tren ini tetap punya potensi tumbuh, mulai dari harga generasi baru ponsel lipat mulai turun, dan makin banyaknya aplikasi serta konten media sosial yang mendukung layar lipat, dari multitasking sampai editing video. Namun begitu, Aryo menyebut masih ada tantangan lain, yakni keraguan dari konsumen di Tanah Air atas durabilitas produk.
“Kekhawatiran soal daya tahan engsel, layar lipat di iklim tropis, dan belum optimalnya dukungan aplikasi jadi penghambat. Banyak orang beli ponsel lipat, tetapi belum tentu maksimal menggunakannya,” lanjutnya.
Apa Artinya untuk Investor dan Pelaku Usaha?
Bagi investor, tren ini menyiratkan potensi pertumbuhan paling besar ada di segmen menengah ke bawah. Perusahaan China, seperti Transsion Holdings dan BBK Electronics jelas masih akan mencatatkan pertumbuhan, terutama bila mereka terus mengembangkan distribusi dan layanan purnajual di Indonesia.
Baca Juga
Apple Main Aman, Harga iPhone Naik tetapi Tak Mau Salahkan Perang Dagang
Di sisi lain, brand-brand besar seperti Apple dan Samsung perlu menyesuaikan strategi mereka di pasar Indonesia. Bisa lewat memperluas lini produk mid-range, seperti Galaxy A series atau iPhone SE, atau lewat promosi tukar-tambah dan cicilan ringan yang lebih agresif.
Hematnya, pasar smartphone Indonesia sedang mengalami pergeseran dari flagship mahal ke perangkat mid-range yang lebih fungsional. Bagi konsumen, ini kabar baik karena pilihan makin banyak. Sementara bagi investor dan pelaku industri, ini jadi penanda penting: strategi lama tak lagi cukup. Adaptasi dan pemahaman terhadap dinamika konsumen Indonesia akan jadi kunci bertahan di pasar yang kompetitif ini. (C-13)

