Pasar Halal Tak Lagi “Niche”: Mengapa Dunia Usaha Perlu Memahami Konsumen Muslim Global?
Oleh Intan Maria Lewiayu Vierke,
Dosen Politeknik APP Jakarta
INVESTORTRUST.ID - Ketika mendengar kata halal, banyak orang langsung membayangkan sertifikasi makanan yang sesuai dengan hukum Islam. Namun, dalam satu dekade terakhir, konsep halal telah mengalami transformasi signifikan.
Kini, halal bukan hanya tentang pemenuhan syariat, tetapi juga representasi kualitas, etika, dan gaya hidup global. Pasar halal global saat ini diperkirakan bernilai lebih dari US$ 2 triliun dan meluas ke berbagai sektor, seperti kosmetik, farmasi, logistik, hingga keuangan berbasis syariah.
Halal menjadi semakin menarik bagi investor dan pelaku usaha karena didorong oleh dua kekuatan utama: populasi muslim dunia yang terus tumbuh dan perubahan perilaku konsumen lintas agama yang semakin sadar terhadap pentingnya produk bersih, aman, dan beretika.
Bagi pelaku pasar yang mampu melihat tren ini secara strategis, halal bukan lagi ceruk (niche), tetapi menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi berbasis nilai (value-driven economy).
Baca Juga
Di Konferensi IFESDC 2025, KNEKS Dorong Eksositem Kondusif Industri Keuangan Syariah dan Halal
Laporan State of the Global Islamic Economy 2023/24 menyebutkan bahwa pertumbuhan konsumsi halal global berkisar 8–10% per tahun. Namun, yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar produk halal dunia justru diproduksi di negara-negara minoritas muslim, seperti Brasil, Australia, Thailand, dan Amerika Serikat (AS).
Negara-negara ini telah lama mengembangkan ekosistem halal yang andal, terutama untuk ekspor produk daging, olahan, dan makanan ringan ke kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Lalu bagaimana menggeser posisi dari konsumen menjadi produsen dunia? Pertanyaan ini seharusnya tidak dijawab dengan sekadar retorika, tetapi dengan basis pemahaman berbasis data dan riset.
Laporan Global Islamic Economy Indicator 2022 secara konsisten menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi halal tertinggi di sektor makanan dan minuman. Namun, Indonesia tidak termasuk dalam lima besar produsen halal global.
Bahkan dalam sub-indikator Halal Food Export Performance, Indonesia masih berada di bawah Brasil, India, dan Thailand, yang justru negara-negara bukan mayoritas muslim. Saat ini, negara yang bukan mayoritas muslim memang memiliki kesiapan industri dan strategi ekspor halal yang jauh lebih mapan.
Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara kapasitas konsumsi dan kapasitas produksi halal Indonesia. Hal ini bukan sekadar soal logistik atau teknologi, melainkan soal pemetaan strategi nasional yang berbasis riset pasar internasional.
Hingga kini, Indonesia masih kekurangan riset yang mendalam terkait preferensi konsumen halal global, regulasi sertifikasi di negara tujuan, serta potensi produk ekspor nonkomoditas berbasis halal, seperti olahan pangan, herbal, kosmetik, dan bahan baku farmasi. Tanpa riset yang kuat dan terstruktur, Indonesia akan terus berada dalam posisi sebagai pasar, bukan pengendali.
Baca Juga
Prabowo dan PM Thailand Sepakat Kembangkan Industri Halal hingga Ekonomi Digital
Untuk itu, perjalanan menuju posisi sebagai produsen halal dunia harus dimulai dengan membangun ekosistem riset dan literasi industri halal yang kuat. Dunia usaha, universitas, dan lembaga pemerintah perlu berada dalam satu kerangka kolaboratif, dengan fokus pada eksplorasi pasar, penguatan nilai tambah produk, serta pengembangan branding halal Indonesia di mata internasional.
Kesadaran memang penting, tetapi tanpa riset dan pengambilan keputusan berbasis data, peluang pasar halal global akan terus diambil oleh negara lain,sementara Indonesia hanya menjadi penonton.
Pentingnya Riset Pasar Halal
Pasar halal global saat ini bersifat terfragmentasi dan sangat kontekstual, menjadikannya tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan yang ingin masuk atau mengembangkan portofolio produk halal.
Oleh karena itu, riset pasar halal tidak bisa disamakan dengan riset pasar konvensional. Diperlukan pendekatan yang peka terhadap variasi budaya, nilai agama, serta dinamika sosial-politik. Misalnya, riset di negara mayoritas muslim lebih menekankan autentisitas produk dan lembaga sertifikasi, sementara di negara minoritas muslim difokuskan pada persepsi konsumen dan pemahaman label.
Riset pasar juga berfungsi untuk menghindari miskomunikasi dan kesalahan positioning produk. Produk yang berhasil di satu negara belum tentu diterima di negara lain. Riset primer, seperti focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam sangat penting untuk memahami kebutuhan konsumen halal yang semakin kompleks.
Tren gaya hidup generasi muda yang mengutamakan produk halal-tayib juga perlu dipetakan untuk strategi komunikasi yang efektif.
Dalam konteks pasar halal global yang sangat majemuk, riset pasar tidak dapat bersifat general atau seragam. Justru kunci efektivitas strategi halal internasional terletak pada kemampuan memahami profil dan karakter masing-masing negara target, baik dari sisi konsumen, regulasi, maupun norma budaya yang membentuk persepsi terhadap halal itu sendiri.
Di negara mayoritas muslim seperti Uni Emirat Arab, dimensi kepercayaan terhadap otoritas dan keaslian produk lebih dominan. Sementara di negara dengan minoritas muslim seperti AS atau Inggris, halal lebih dipahami sebagai bagian dari identitas, keberagaman, bahkan gaya hidup etis.
Riset pasar halal yang tajam harus mampu membaca nuansa ini, agar pendekatan branding, sertifikasi, bahkan kemasan produk dapat disesuaikan secara kontekstual dan tidak terjebak pada asumsi universal.
Jika selama ini halal dianggap sebagai wilayah pasar religius, kini sudah waktunya melihatnya sebagai bagian dari transformasi besar ekonomi nilai global.
Di tengah meningkatnya tuntutan konsumen terhadap produk yang clean, ethical, dan meaningful, pasar halal bukan sekadar mengikuti arus. Tren halal bukan sesuatu yang akan datang, namun telah tumbuh dan menjadi bagian dari dinamika pasar global hari ini.
Baca Juga
Ekspor Tembus Rp 1.079 Triliun, tetapi Branding Produk Halal RI Masih Kalah dari China dan Brasil
Pertanyaannya bukan lagi kapan kita memulainya, tetapi apakah kita siap mengambil posisi di dalamnya. Sebab jika tidak, kita akan terus menjadi target dari strategi halal negara lain, bukan pelaku yang menentukan.
Ingin menjadi bagian dari pasar halal global bukan hanya soal menyadari potensi. Kita dituntut melakukan pergeseran arah, membelokkan orientasi industri nasional dari semata konsumsi ke produksi dan inovasi; membangun ulang ekosistem pendukung mulai dari riset, sertifikasi, distribusi, hingga logistik yang berpihak pada ekspor dan daya saing global.
Ini bukan tentang siapa paling besar, tetapi siapa paling siap. Dan kesiapan itu lahir dari keberanian untuk membentuk ulang orientasi ekonomi.
Sudah waktunya ekonomi halal Indonesia tidak hanya menjadi diskursus akademik atau jargon kampanye, tetapi gerakan strategis lintas sektor. Gerakan yang didorong oleh pemikiran jangka panjang, dibekali data dan riset yang solid, serta disokong oleh sinergi pemerintah, pelaku usaha, kampus, dan komunitas.
Dengan cara itu, Indonesia tak hanya akan mengambil bagian dalam pasar halal dunia, tetapi akan memimpin dan memberi makna baru di dalamnya. ***

