PLTU Tak Cepat Disuntik Mati karena Masalah Pendanaan, Celios: Efeknya Jutsru Lebih Banyak Bikin Rugi
JAKARTA, investortrust.id - Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritisi kebijakan pemerintah dalam rangka mempensiunkan PLTU batu bara. Menurut mereka, pemerintah mesti mengkaji ulang soal kriteria dan metodologi yang digunakan dalam menentukan PLTU yang bakal dipensiunkan, karena semakin lama keputusan untuk memensiunkan dini maka semakin besar kerugian yang dialami negara.
Pemerintah sejatinya telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi payung hukum dan landasan dalam percepatan pensiun dini PLTU.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyoroti kriteria pemensiunan PLTU yang ada di dalam Permen tersebut. Berdasarkan analisis kritis penggunaan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan, disebutkan bahwa yang menjadi persoalan terbesar pemerintah dalam mempensiunkan PLTU adalah faktor ketersediaan dukungan pendanaan, yakni dengan bobot 27,1%.
“Ini adalah paradigma yang terbalik. Jadi seolah 27% dari komponen atau pembobotan itu menunggu adanya dana dulu, baru kemudian PLTU itu bisa dimatikan, meskipun ada komponen-komponen lainnya,” kata Bhima dalam webinar yang berlangsung Jumat (9/5/2025).
Baca Juga
Menurut dia, menunda menyuntik mati PLTU karena faktor pendanaan adalah sesuatu yang bermasalah. Pasalnya, dengan terus beroperasinya PLTU-PLTU tersebut justru membuat negara semakin merugi, baik secara ekonomi, lingkungan, kesehatan, hingga kerugian keuangan negara atau APBN.
“Kita melihat kerugian ekonomi, kerugian dari lingkungan, kerugian dari keuangan negara atau APBN, melalui oversupply yang sudah sangat berlebihan. Kerusakan lingkungan, biaya kesehatan, ini kelihatannya nggak pernah dihitung menjadi pedoman dalam penyusunan peta jalan,” papar Bhima.

Sehingga, kata Bhima, kalau itu semua dihitung, PLTU yang sudah sampai 20 tahun beroperasi dan berdampak signifikan terhadap beban APBN, seharusnya tidak perlu menunggu pendanaan. Menurutnya, pemerintah bisa memasukkannya langsung ke dalam rencana pemensiunan PLTU atau bahkan pengakhiran operasional.
“Jadi kita mendukung adanya PLTU-PLTU yang sudah jadi beban untuk dipensiunkan, terutama dalam transmisi Jawa-Bali. Baik itu dana ada atau tidak ada, dalam rangka menghemat keuangan negara ,selayaknya lebih cepat untuk dimatikan,” tegas dia.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh CREA dan IESR pada tahun 2023, emisi polutan udara dari PLTU batu bara di Indonesia pada tahun 2022 bertanggung jawab atas sekitar 10.500 kematian akibat polusi udara, serta menimbulkan beban biaya kesehatan sebesar US$ 7,4 miliar (atau Rp 67,6–170,3 triliun).
Studi tersebut memperkirakan bahwa penghentian penggunaan batu bara secara lebih cepat, akan mampu mencegah hingga 182.000 kematian akibat polusi udara secara kumulatif dan menghemat biaya kesehatan hingga US$ 130 miliar (atau Rp 1.200–2.900 triliun) selama periode 2024 hingga masa akhir operasional seluruh PLTU batu bara.
“Ini kan biaya-biaya kesehatan itu harusnya dijadikan pertimbangan utama, bukan malah ketersediaan dana. Jadi kalau emisi gas rumah kaca bobotnya hanya sekitar 9%, itu terlalu kecil. Sebaiknya di atas 50% dari total pembobotan itu pertimbangannya adalah emisi gas rumah kaca, kemudian ditambahkan lagi pembobotan lainnya untuk biaya kesehatan,” ujar Bhima.

