Kisah Mang Deden Pelopori Kopi Panas Bumi Kamojang
JAKARTA, investortrust.id - Indonesia punya potensi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 40% dari total cadangan dunia. Salah satu lokasi cadangan geotermal tersebut di Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Di area ini terdapat sosok bernama Muhammad Ramdhan Reza Nurfadilah yang sukses menghadirkan inovasi usaha kopi panas bumi, yang beroperasi di Kamojang sejak 1983. Pria yang biasa disapa Mang Deden ini mendapat dukungan kuat dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PGE.
Baca JugaDekan FTKE Trisakti: Optimalkan Potensi Geotermal dan Investasi Energi Bersih
Sebelum mencetuskan inovasi kopi panas bumi, Deden sudah lebih dulu menjalankan usaha kopi sejak 2015. Usaha itu dijalani dengan membuka coffee shop yang dikelola sendiri.
Tempat Kumpul Berbagi Cerita
Selain pengusaha kopi, Deden juga aktif berperan sebagai Ketua Karang Taruna di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Partisipasinya dalam komunitas tersebut membuat kedai kopi milik Deden kerap menjadi tempat berkumpul warga untuk bersantai dan berbagi cerita, termasuk para pekerja dari PGE Area Kamojang.
Deden pun mulai menjalin hubungan baik dengan para karyawan PGE Area Kamojang. Kedekatan tersebut terjalin melalui obrolan santai yang sering diwarnai dengan diskusi seputar kopi, mulai dari proses produksi hingga peluang pengembangan kopi lokal.
Ternyata, obrolan tersebut tak sekadar wacana. PGE merespons positif keinginan untuk memulai program pembinaan kopi.
“Waktu itu saya anggap ide tersebut menjadi tantangan. Saya melihat potensi panas bumi sebagai peluang untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi para produsen kopi konvensional,” ujarnya.
Baca Juga
Saham Emiten Emas ANTM dan HRTA Terkoreksi Dua Hari Beruntun, Begini Pandangan Analis
Geothermal Dry House
Bersama PGE, Deden melakukan riset intensif untuk menemukan teknik fermentasi yang paling sesuai dengan karakteristik panas bumi yang digunakan dalam proses pengolahan kopi. “Saya melakukan riset fermentasi selama hampir setahun. Dari lebih dari 20 jenis proses yang dicoba, akhirnya kami menemukan tiga metode yang paling sesuai dengan karakter pengeringan,” ungkapnya.
Setelah riset tersebut, Deden memulai produksi dengan mengolah biji Arabika, yang berasal dari tanaman yang tumbuh di dataran tinggi Kamojang, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Deden kemudian mengajak para pelaku usaha kopi di Kamojang untuk membangun ekosistem bisnis yang lebih efisien, melalui pemanfaatan teknologi ‘Geothermal Dry House’.
Teknologi ini tidak lagi mengandalkan sinar matahari yang kini semakin sulit diprediksi, akibat perubahan iklim global. Sebagai gantinya, ‘Geothermal Dry House’ memanfaatkan aliran steam trap dari uap panas bumi PGE Kamojang yang dialirkan melalui pipa. Ini memungkinkan pengaturan suhu ruangan secara stabil dan terkontrol, untuk proses pengeringan kopi yang lebih efisien, higienis, dan berkualitas.
Dari sisi potensi bisnis, teknologi ini memiliki keunggulan dengan efisiensi waktu pengeringan yang jauh lebih singkat, sehingga berdampak langsung pada penghematan biaya operasional. Efisiensinya bahkan sangat tinggi, karena proses pengeringan berlangsung tiga kali lebih cepat. Ini artinya, dengan waktu dan biaya proses yang hampir sama, hasil produksi bisa meningkat hingga tiga kali lipat.
“Hal ini juga meminimalkan risiko kontaminasi bakteri dari luar. Dengan begitu, bakteri yang berpengaruh terhadap proses hanya berasal dari fermentasi sebelum pengeringan. Dari sisi cita rasa, hasil akhirnya jadi lebih fruity, aromanya lebih kuat, dan teksturnya pun terasa lebih lembut dibandingkan kopi yang diproses secara konvensional,” ucapnya.
Mitra 80 Petani Lebih
Sebagai managing director Geothermal Coffee Process (GCP), dia bertugas untuk merangkul para petani kopi di kawasan Kamojang. GCP bergerak di bidang pengolahan biji kopi pasca panen, mulai dari processing, pengeringan, hingga pengupasan kulit ari, dengan hasil akhir berupa green bean.
Saat ini, GCP menjadi mitra bagi lebih dari 80 petani yang secara konsisten memasok hasil panen mereka setiap musim panen. GCP tercatat menyerap hingga 20 ton biji kopi pada musim lalu. Ke depan, Deden memiliki harapan menjadikan GCP sebagai usaha pengolahan kopi yang terintegrasi, dari hulu ke hilir.
Pada tahun pertama peluncurannya, sekitar 2023, Deden mengatakan, ada pihak dari luar negeri yang tertarik untuk meniru sistem ini. “Kami merasa penting untuk segera mematenkannya. Daripada konsep ini diadopsi pihak luar terlebih dahulu, lebih baik kita kembangkan di dalam negeri. Kami ingin agar masyarakat Indonesia, khususnya di daerah penghasil kopi yang dekat dengan sumber panas bumi, bisa lebih dulu menerapkan konsep serupa,” tutur Deden.
Semangat go global juga mendorong Deden untuk mengenalkan kopi panas bumi sebagai inovasi asli Indonesia ke tingkat global. Usaha tersebut membuahkan hasil, GCP pun berhasil menembus pasar internasional dengan mulai mengekspor produknya ke Jepang. Tahun ini, mereka bahkan menargetkan perluasan ekspor ke wilayah Eropa.
Selain mengelola usaha berbasis komunitas, sebagai lulusan SMK Farmasi, Deden kini menjajaki peluang melanjutkan kuliah S1 lewat program beasiswa dari PGE. Ia berencana mengambil jurusan manajemen bisnis, karena menurutnya, menciptakan produk baru hanyalah permulaan dari sebuah usaha, tapi kemampuan membangun perusahaan yang berkelanjutan itu yang menantang.

