Imbal Hasil US Treasury Naik di Tengah “Gencatan Perang Tarif” AS-China, Investor Masih Hati-hati
JAKARTA, investortrust.id - US Treasury tenor 10 tahun sempat mengalami kenaikan saat “gencatan perang tarif” Amerika Serikat dan China, Selasa (13/5/2025). Dalam pantauan di laman Bloomberg, imbal hasil US Treasury 10 tahun sempat menyentuh 4,475%.
Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan salah satu yang mempengaruhi kenaikan yield US Treasury 10 tahun ini adalah membaiknya outlook perekonomian AS yang terepresentasikan dari peningkatan angka inflasi. Simak data inflasi AS pada April 2025 yang naik 0,2% secara bulanan.
Meski begitu, menurut David, angka inflasi ini masih di bawah ekspektasi pasar yang menargetkan inflasi berada pada posisi 0,3% secara bulanan.
“Membaiknya outlook perekonomian AS, risiko resesi berkurang, mendorong pasar untuk risk-on, dan pindah ke aset yang lebih berisiko seperti saham,” kata David kepada investortrust.id, Rabu (14/5/2025).
Kedua, pasar masih melihat adanya potensi kenaikan inflasi akibat tarif Trump. Namun kekhawatiran ini mulai sedikit mereda dengan adanya kesepakatan AS dan China, juga dengan beberapa negara lain seperti United Kingdom.
Baca Juga
“Dan mengurangi ekspektasi penurunan suku bunga the Fed,” ujar dia.
Sementara itu, jika diamati dari sisi penawaran dan permintaan, perhatian terhadap defisit fiskal AS masih tetap tinggi.
Meski begitu, David menyoroti sikap investor asing di Indonesia yang mungkin masih akan cenderung berhati-hati mengingat kebijakan Trump bisa saja berubah dengan cepat. Ditambah dengan beberapa faktor domestik Indonesia seperti kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang bisa menahan aliran masuk dana investor asing.
Sementara, Kepala Ekonom Bank Danamon Hosianna Situmorang menjelaskan kenaikan dan volatilitas yield US Treasury 10 tahun di pekan terakhir ini bukan anomali. Perubahan ini mencerminkan fase derisking dan respons pasar terhadap data inflasi AS serta ekspektasi bahwa The Fed akan menunda pemangkasan suku bunga.
“Meskipun ada gencatan dagang AS–China, ketidakpastian makro tetap tinggi,” kata Hosianna, dihubungi terpisah.

Hosianna menjelaskan investor global cenderung wait and see terhadap pasar domestik. Fase derisking sendiri membuat aset-aset safe haven seperti yen, euro, dan emas menjadi pilihan utama.
Namun ke depan, potensi pembalikan aliran dana tetap terbuka, terutama dengan outlook ekonomi AS yang direvisi naik oleh Goldman Sachs dan tanda-tanda mulai pulihnya risk appetite, terlihat dari langkah Morgan Stanley yang menambah eksposur ke ekuitas China.
Saat ini, menurut Hosianna, perkiraan pemangkasan suku bunga oleh the Fed menjadi perhatian besar pasar. Meski tertunda, pemangkasan suku bunga oleh the Fed ini kembali mencuat karena data inflasi AS mengalami penurunan dan data unemployment-nya naik.
“Jadi harusnya kan the Fed bisa segera cut, tapi ini cerminan probabilitasnya malah terjadi sebaliknya,” kata dia.

