Permata Bank Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi RI 4,5%-5,0% pada 2025 di Tengah Dinamika Global
JAKARTA, investortrust.id - PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) memperkirakan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) melambat dari 5,03% di tahun 2024 menjadi 4,5 - 5,0% pada tahun 2025. Angka tersebut lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,11%.
Perkiraan ini diungkapkan langsung oleh Chief Economist PermataBank Josua Pardede dalam acara PIER Q1 2025 Economic Review & Media Gathering bertajuk "How to Survive the Uncertainty Global Economic" di Kantor Permata Bank, WTC II, Jakarta, Rabu (14/5/2025).
"Di tengah ketidakpastian global, khususnya dari ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan juga Tiongkok, kami melihat bahwa, kami melakukan assessment dan kami merevisi ke bawah ya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, dari sebelumnya 5,11% menjadi range 4,5% hingga 5,0% dengan titik tengahnya dikisaran 4,78%. Dan ini pertumbuhan ekonomi ini masih akan bergerak di bawah 5,0% kurang lebih sampai dengan 2026 dan baru akan rebound di kisaran 5% nanti di 2027," ujar Josua.
Josua menjelaskan, ketidakpastian perang dagang yang meningkat telah mendorong perusahaan untuk menunda investasi dan rencana ekspansi. Oleh karena itu, Josua berharap pemerintah dapat merespons dengan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan stimulus tepat sasaran, agar konsumsi dan investasi domestik kembali bergerak.
Pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal I 2025 tercatat sebesar 4,87% year on year (yoy), lebih rendah dibandingkan 5,02% pada kuartal sebelumnya dan menjadi laju paling lambat sejak kuartal ketiga 2021. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi motor utama ekonomi melambat tipis menjadi 4,89% yoy.
"Hal ini didorong oleh melemahnya daya belanja pada sub-komponen makanan dan minuman serta transportasi dan komunikasi," ungkap Josua.
Lebih lanjut, Josua menyebut, pertumbuhan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga menurun menjadi 2,12% yoy, terutama karena melemahnya investasi pada bangunan dan struktur serta mesin dan peralatan. Di sisi lain, belanja pemerintah mengalami kontraksi 1,38% yoy setelah pada tahun sebelumnya terdongkrak oleh aktivitas Pemilu, sementara ekspor barang dan jasa meningkat dengan didukung oleh kinerja ekspor nonmigas yang lebih kuat.
Dari sisi sektoral, sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 10,52% yoy, karena lonjakan produksi tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sektor manufaktur, yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh stabil sebesar 4,55%, didukung oleh kuatnya permintaan ekspor di industri logam dasar.
Kemudian, sektor perdagangan ritel mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,03% berkat momentum musiman Ramadan, serta sektor jasa juga tetap solid didukung aktivitas pariwisata berkelanjutan. Namun, sektor pertambangan mengalami kontraksi akibat aktivitas pemeliharaan di tambang emas dan tembaga.
"Sementara sektor konstruksi melambat signifikan karena adanya realokasi anggaran pemerintah," kata Josua.
Melihat tren ini, Josua membeberkan bahwa PIER merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi di bawah 5%, lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 5,11%. Menurut Josua, ketidakpastian global akibat perang dagang yang sedang berlangsung diperkirakan akan menekan laju investasi dan konsumsi domestik.
Josua menambahkan, adanya perang dagang tersebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan sektoral, meskipun dampaknya akan bervariasi. Sektor dengan orientasi ekspor dan memiliki ketergantungan terhadap pasar AS yang relatif tinggi, seperti tekstil dan garmen, kulit dan alas kaki, elektronik, furniture, dan produk karet, akan terkena dampak yang cukup signifikan dan dapat menurunkan pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2025 ini.
Namun demikian, kata Josua, sektor-sektor yang berorientasi pada pasar domestik, seperti jasa dan perdagangan diyakini masih akan menjadi motor utama pertumbuhan tahun ini.
“Meningkatnya kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan yang tampak lesu dapat membuka ruang bagi pelonggaran moneter. Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menguat, maka Bank Indonesia dapat memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini,” jelas Josua.

