Sempat Disebut Hanya Rumor, Peluang Pembelian J-10 Oleh Indonesia Makin Besar
Dikutip dari South China Morning Post, Indonesia disebutkan dalam proses meresmikan rencana untuk mengakuisisi 42 unit jet tempur Chengdu J-10 Vigorous Dragon yang saat ini masih dioperasikan oleh Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF), bisa dibilang bekas, namun usia pakai pesawat yang akan dibeli tersebut masih sangat panjang.
Rencana tersebut yang dilaporkan dari berbagai sumber dan sebagian dikonfirmasi dalam unggahan media sosial yang kini telah dihapus oleh Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin, memberikan indikasi yang kuat bahwa pilot Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU) akan dikirim ke China untuk pelatihan dan pengenalan jet tempur J-10.
Solusi ini dapat dipahami di tengah keterbatasan TNI AU dengan inventaris pesawat yang semakin menua sementara kedatangan pesawat yang baru masih membutuhkan beberapa tahun. Rafale F3R dari Prancis paling cepat akan datang pada tahun 2026 sebanyak hanya 6 unit. Diharapkan pada ajang Indo Defence Expo & Forum tanggal 11-14 Juni 2025, Indonesia akan mengumumkan rencana akuisisi J-10 Vigorous Dragon dari China secara resmi.
Unit yang akan dibeli oleh Indonesia dilaporkan akan dikeluarkan dari dinas aktif PLAAF sehingga dengan cara ini, memungkinkan TNI AU untuk mendapatkan pesawat J-10 dengan lebih cepat dan siap operasional. Tentu saja sebelum diserahkan kepada Indonesia, J-10 tersebut akan mengalami modifikasi sesuai spesifikasi TNI AU sebagai operator untuk memenuhi persyaratan kepatuhan operasional dan ekspor dari pihak Indonesia.
Jalan Berliku Pengganti Tiger
Kementerian Pertahanan sejak era Ryamizard, lalu Prabowo Subianto hingga kini dijabat oleh Sjafrie Sjamsoeddin secara konsisten melakukan berbagai upaya pengadaan jet tempur untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Northrop F-5E/F Tiger II.
Jakarta pernah berencana mengakuisisi 16 jet tempur Su-35 Flanker dari Rusia pada tahun 2015, meski kemudian menyusut hanya menjadi 11 unit pada kontrak yang disepakati di tahun 2018, realisasi dan pengiriman kontrak tersebut tidak pernah terwujud. Akhirnya Kemhan RI membatalkan kontrak dengan Russia pada tahun 2021 karena risiko sanksi sekunder AS berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA), sebagaimana dikonfirmasi oleh Kementerian Pertahanan Indonesia pada tahun 2023. Meski demikian pihak Russia berulangkali melalui Duta Besar Russia di Jakarta, Lyudmila Vorobieva mengatakan bahwa kontrak pembelian Su-35 Indonesia masih aktif.
Kemhan RI pada masa jabatan Prabowo Subianto kemudian mengalihkan pandangannya kepada pemasok Barat, menandatangani kontrak dengan Dassault Aviation dari Prancis pada tahun 2022 untuk 42 pesawat tempur Rafale F4. Hingga Agustus 2023, 24 pesawat telah resmi dipesan dalam dua gelombang. Tidak lama sesudahnya, Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Boeing pada tahun 2023 untuk 24 pesawat F-15EX Eagle II, dengan Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan AS dan nilai kontrak disebut dapat mencapai $13,9 miliar untuk 24 jet F-15EX akan diberi nama F-15IDN sebagai inisial paket versi Indonesia.
Indonesia telah terlibat dalam proyek pesawat tempur KF-X bersama Korea Selatan dan telah menyetorkan sejumlah uang serta mengirim insinyur untuk bersama-sama dengan tenaga ahli Korea Selatan membangun KF-X/IF-X Boramae. Perkembangannya tidak sesuai harapan dan Jakarta beberapa kali menunggak kontribusi dan melakukan renegosiasi menyebabkan kedatangan IF-X semakin lama. Jangka waktu yang panjang dan biaya yang lebih tinggi pada setiap upaya pembelian jet tempur baru dari Barat mendorong Jakarta untuk mengevaluasi alternatif bekas.
Menhan Prabowo Subianto sempat dua kali memunculkan opsi jet tempur interim pengganti F-5 E/F Tiger II untuk mengisi kekosongan dengan membeli jet tempur eks Angkatan Udara Qatar, yaitu 12 unit Mirage 2000-5 dan Eurofighter Typhoon Angkatan Udara Austria, kedua rencana tersebut batal.
China dan Indonesia Semakin Mesra
Pada bulan November 2024 Kepala Staf Angkatan Udara TNI, Marsekal Mohamad Tonny Harjono berkunjung ke pameran Zhuhai Air Show bersamaan dengan kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China. Saat itu Tonny Harjono melihat dari dekat dan mencoba duduk di dalam kokpit J-10C Vigorous Dragon. Pada kesempatan itu, menurut artikel Intelligence Online (26/5/25) dalam artikel “Chinese fighter jets ready to land in Jakarta alongside France's Rafales”, mengatakan bahwa memang delegasi TNI AU mempertimbangkan pengadaan J-10.
Pada kesempatan bincang bincang dengan wartawan, Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto mengungkap adanya tawaran dari China, tidak hanya jet tempur J-10 tetapi juga alutsista lain seperti fregat, misil dan sistem pertahanan Udara. Donny kemudian menggarisbawahi bahwa kompatibilitas sistem, harga, dan dukungan purnajual sedang dikaji.
Proposal dari China tersebut dikatakan oleh Donny, diajukan sebelum terjadinya konflik antara India dan Pakistan pada April-Mei 2025, dan akhirnya performa J-10 dalam konflik tersebut kemudian masuk menjadi faktor penilaian oleh tim ahli Kemhan dan Donny pun mengatakan hingga saat ini belum ada tim evaluasi teknis dari Indonesia yang dikirim ke China.
Meski sempat menjawab bahwa kabar itu masih bersifat rumor, namun Donny juga mengatakan, “Ketika kami mengevaluasinya, pesawat itu bagus, memenuhi kriteria kami dan harganya terjangkau, jadi mengapa tidak?” kata Donny. Wamenhan menambahkan bahwa Indonesia dapat membeli peralatan pertahanan dari negara mana pun, tetapi menekankan pemerintah perlu mempertimbangkan kriteria lain juga, termasuk bagaimana mengintegrasikan pesawat baru dengan peralatan angkatan udara yang ada. “Dalam hal kemampuannya, seberapa jauh ia dapat terbang, jenis senjata yang dapat dibawanya, kita harus lihat nanti,” katanya.
Pada bulan Mei 2025 terjadi perang singkat antara India dan Pakistan di mana saat itu Pakistan mengeluarkan klaim bahwa mereka telah menjatuhkan sejumlah jet tempur India dari jenis Rafale, Mirage 2000 Su-30MKI, dan MiG-29UPG dengan jet tempur buatan China, J-10C dengan bantuan pesawat AWCS SAAB Erieye buatan Swedia menggunakan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15. Seketika itu juga di dunia maya, J-10C menjadi trending topics dan mendapat perhatian internasional. Meski pihak India belum mengakui kehilangan Rafale, namun intelijen Prancis telah mengkonfirmasi kerugian pihak India setidaknya satu Rafale telah ditembak jatuh oleh Pakistan.
Analis mengutip penggunaan sistem peringatan dini, peperangan elektronika dan kontrol udara asal China dan Swedia yang dikoordinasikan dengan J-10. Pertempuran ini adalah ace pertama bagi J-10 yang saat ini hanya dioperasikan dua negara, China dan Pakistan. Torehan gemilang ini menjadi bekal yang baik dalam setiap proposal ekspor J-10 ke negara potensial lainnya, termasuk kepada Kolombia. China memepet dan menawarkan kepada Kolombia 24 unit J-10CE, sejumlah paket senjata dan persyaratan finansial yang menarik meskipun sebelumnya Kolombia telah mengunci SAAB Grippen E/F dari Swedia sebagai pilihan.
Hal yang sama terjadi dengan Indonesia bersamaan dengan semakin eratnya hubungan bilateral Jakarta Beijing, terlebih pada awal 2025 Indonesia bergabung dengan BRICS dan mengikat hubungan strategis yang lebih dekat dengan Tiongkok. Presiden Prabowo Subianto mengunjungi China dua kali saat masih menjabat sebagai Menhan dan sebagai presiden terpilih, dan terakhir setelah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada sebuah kesempatan di Tanah Air, Prabowo Subianto sempat berujar, "Pesawat dari Tiongkok ini bagus-bagus dan harganya murah."
Pada kunjungan balasan Perdana Menteri China Li Qiang ke Jakarta, Mei 2025, Prabowo mengungkapkan kembali niatnya untuk memperkuat dan membangun komunitas takdir China-Indonesia dengan pengaruh regional dan global. Perdagangan Indonesia dengan China meningkat dari $52,45 miliar pada tahun 2013 menjadi $135,17 miliar pada tahun 2024. China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan investor asing teratas, dengan $8,1 miliar yang diinvestasikan pada tahun 2024.
Pertama Di Dunia, Rafale dan J-10 Dalam Satu Inventori
Bilamana Indonesia jadi mengumumkan secara resmi rencana akuisisi J-10, maka TNI AU akan menjadi satu-satunya angkatan udara yang mengoperasikan Rafale dan J-10 secara bersamaan dalam satu inventori. Perkembangan sejauh ini semakin mengarah pada konteks kebijakan dalam proses pengadaan jet tempur yang mulai memasukkan produk China untuk dievaluasi dan dikaji sebagai bagian dari modernisasi TNI AU.
Bila benar terwujud, maka TNI AU akan mengoperasikan total 84 jet tempur dengan sayap delta-canard terdiri dari 42 Rafale dan 42 J-10, pertama dalam sejarah TNI AU. Pembelian J-10 dari inventori PLAAF akan mengisi kesenjangan kapabilitas yang ditinggalkan oleh F-5 serta semakin menuanya jam terbang armada Hawk 100/200. Saat ini TNI AU memiliki jet tempur F-16 A/B dan C/D yang telah diretrofit, Su-27 dan Su-30 dari Russia, jet tempur latih/serang TA-50 Golden Eagle dari Korea Selatan dengan kesiapan tempur setidaknya 60%.
Kedatangan J-10 yang telah operasional oleh PLAAF memungkinkan untuk pengiriman secepatnya karena berbeda dengan pesawat yang baru, membutuhkan beberapa tahun untuk membangun. Meski 6 unit pertama Rafale akan datang pada tahun 2026, pembelian J-10 sejalan dengan fokus KemHan RI untuk menjaga kesiapan operasional selama masa transisi dan dapat memastikan kesinambungan layanan TNI AU.
Beban Logistik dan Rantai Pasok
Namun demikian, integrasi jet tempur AS, Korea Selatan, China, Prancis, dan Rusia tetap akan memunculkan persoalan pada sistem operasional, logistik, sistem rantai pasok, jalur pelatihan, infrastruktur pemeliharaan, inventaris suku cadang, dan sistem persenjataan yang terpisah akan memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi TNI AU sebagai operator.
Pengadaan alutsista jet tempur dari beberapa vendor memberikan fleksibilitas namun di sisi lain hal ini menimbulkan biaya pada logistik, daya dukung dan koordinasi sehingga juga berdampak pada anggaran operasional secara signifikan. Belum lagi bila kontrak dengan Russia untuk Su-35 diaktifkan lagi oleh Kemhan, perpaduan inventori jet tempur dari AS, Rusia, Inggris, Korea Selatan, Prancis, dan China akan menimbulkan kompleksitas pasokan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu angkatan udara. Pola ini dapat mempersulit interoperabilitas dan keberlanjutan sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan jangka panjang. Namun demikian, Kemhan dan TNI AU sepertinya bersedia membayar berbagai tantangan tersebut demi mencapai kesiapan layanan TNI AU dalam memberikan otonomi pertahanan, terutama dalam hal geopolitik, ketika satu jenis alutsista berpotensi mengalami embargo.
Pada proses negosiasi pembelian F-15EX, Jakarta mensyaratkan pengintegrasian 85% komponen dalam negeri ke dalam proyek F-15EX dan Boeing pun telah berjanji untuk memenuhi syarat tersebut. Perkembangan terkini menunjukkan arah kebijakan Jakarta yang tidak terlalu memprioritaskan kesepakatan F-15EX dengan AS dan mulai melirik alternatif dari China dan Rusia mencerminkan kalibrasi ulang prioritas pengadaan alutsista TNI AU. Perpindahan dari program ini dapat memengaruhi kerja sama industri AS-Indonesia dan hubungan pertahanan yang lebih luas.
Sementara belum lama ini, administrasi Presiden Prabowo Subianto terus terlibat lebih dekat dengan Prancis, setelah menandatangani surat pernyataan minat selama kunjungan kenegaraan Presiden Emmanuel Macron pada bulan Mei 2025 di Jakarta yang dapat mengarah pada pesanan Rafale tambahan dan kapal selam Scorpène. Indonesia juga mempertahankan perjanjian dengan kontraktor Prancis untuk 13 radar pengawasan udara jarak jauh dari Thales dan dua kapal selam Scorpène yang dibangun di dalam negeri dengan Naval Group dan PT PAL.
Investortrust dari berbagai sumber

