Jet Tempur China Naik Daun, Buah Kesabaran Deng Xiaoping
Jakarta, Investortrust.id – Meski sempat diasingkan di masa pemerintahan Mao Zedong dan diwarnai peristiwa Tiananmen, kesabaran Deng Xiaoping, pemimpin China sejak 1970 hingga akhir 1990, akhirnya membuahkan hasil di bidang aeronautika. Pada awal 1980-an, China masih tergolong sebagai negara berpendapatan rendah dengan catatan 9 dari 10 orang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Namun, Deng Xiaoping yang saat itu memimpin China memiliki sebuah program visioner yaitu sebuah program aeronautika sangat ambisius di mana China dituntut untuk bisa membangun jet tempur dalam negeri yang sebagian besar dibuat berdasarkan teknologi lokal.
Seperti diketahui, beberapa jet tempur buatan negara barat sering bertukar teknologi atau menyematkan teknologi negara lain ke dalam pesawat tempur mereka dengan sistem lisensi seperti JAS-39 Grippen dari Swedia atau T/A-50 Golden Eagle buatan Korea Selatan. Hal semacam ini kerap menyulitkan negara pengguna saat ingin mengganti suku cadang atau bahkan untuk berperang karena harus melalui prosedur dari negara supplier. Hal ini yang dihindari oleh industri pesawat tempur China.
Mimpi China untuk mendapatkan teknologi jet tempur sangatlah panjang, bahkan lebih panjang dibanding masa pemerintahan Deng yang hanya 11 tahun. Bagusnya adalah, penerus Deng, Presiden Jiang Zemin memiliki visi yang sama dan melanjutkan program ini dan bahkan Jiang pernah berujar bahwa membangun jet tempur bagi China lebih berguna daripada bom nuklir.
Butuh waktu hampir tiga dekade bagi China sampai bisa mengembangkan J-10, sebuah jet tempur dengan misi serangan udara ke udara dan juga mampu mengemban misi serangan darat. Kisah berawal pada tahun 1981, Komandan PLAAF (Angkatan Udara China saat itu) Zhang Tingfa mengajukan proposal kepada pemimpin China, Deng Xiaoping untuk pengembangan pesawat tempur generasi ketiga seharga 500 juta Yuan; proposal tersebut diterima akhir tahun itu oleh Komisi Militer Pusat (CMC).
Gayung bersambut, Deng yang menginginkan kemandirian China dalam berbagai bidang menindaklanjuti proposal Zhang itu. Sebelumnya China telah mampu membuat sejumlah jet tempur seperti prototipe JJ-1, Chengdu J-7 dan Shenyang J-8 yang dibuat berdasarkan jet tempur Uni Soviet MiG-21. Namun kini proyek J-10 menuntut situasi yang berbeda, J-10 diharapkan mendapat teknologi dan supply suku cadang hingga atau melebihi 60% dari dalam negeri. Pengembangan teknis berjalan lambat dan sulit karena untuk mengembangkan satu jenis jet tempur dengan 60% teknologi dan suku cadang domestik dibutuhkan sebuah ekosistem manufaktur di dalam negeri yang sarat teknologi.
China menyisihkan sumber daya yang besar untuk mewujudkan impian mampu membuat pesawat militer dibanding hanya membeli jadi dari AS, Rusia atau Prancis. "China tidak pernah benar-benar punya pilihan untuk membeli dari mereka. China harus berinvestasi besar dan bekerja keras (membangun J-10)," kata Mauro Gilli, periset Center for Security Studies of the Swiss Federal Institute of Technology seperti dikatakan kepada TRT Global.
China benar benar berinvestasi besar dan belajar dari negara lain untuk mengatasi tantangan teknis karena kurangnya teknologi canggih. Dari awal 1980-an, karena hubungan yang membaik, Beijing sempat memperoleh akses ke teknologi Barat, untuk mempelajari sistem seperti radar dan rudal. Namun semuanya berhenti ketika peristiwa Lapangan Tiananmen 1989 pecah, negara-negara Barat termasuk AS memberikan sanksi dan menghentikan program kerja sama militer AS-China, Peace Pearl.
China lalu mengalihkan pandangannya ke Uni Soviet dan kemudian Rusia. Melemahnya ekonomi Rusia menyusul runtuhnya Uni Soviet membuka jalan bagi Beijing untuk membeli sistem canggih demi keberhasilan J-10. "Hasilnya sekarang adalah ekosistem yang dikembangkan sepenuhnya di mana J-10 dapat diproduksi sepenuhnya secara independen," tambah Mauro. Ketika ditanya tentang seberapa banyak teknologi J-10 yang sebenarnya baru, ia mengatakan pertanyaan itu menjadi tidak relevan' sekarang. "Saya akan mengatakan persentase (teknologi China di J-10) adalah 100%," cetus Mauro yang dikutip dari TRT.
Akhirnya J-10 pertama dirakit pada bulan Juni 1997, di ujung masa pemerintahan Deng Xiaoping. J-10 mulai beroperasi pada 9 tahun kemudian pada tahun 2006. Pesawat ini secara resmi diresmikan oleh pemerintah Tiongkok pada bulan Januari 2007, ketika foto-fotonya dipublikasikan oleh Kantor Berita Xinhua. Institut Penelitian Aeronautika Siberia (SibNIA) dari Rusia terlibat dalam program ini pada tahun 2006. Menurut SibNIA, mereka hanya melakukan pengamatan dan instruksi sebagai "pemandu ilmiah". Pada bulan Mei 2021, Radio Nasional Tiongkok merilis gambar J-10C yang ditenagai oleh mesin WS-10B; ini adalah pertama kalinya mesin WS-10 yang dibuat di dalam negeri secara resmi terlihat pada J-10 yang telah beroperasi.
Sejarah dan Desain Yang Menjadi Perdebatan
Pada tahun 1988, menteri pertahanan Israel membantah laporan The Sunday Times bahwa Israel dan Tiongkok telah sepakat untuk mengembangkan pesawat tempur yang dirancang berdasarkan Israel Aviation Industry (IAI) Lavi, sebuah proyek pesawat tempur Israel yang didasarkan pada rancangan F-16 General Dynamics AS. Pada tahun 2006, para insinyur SibNIA Rusia menyatakan bahwa mereka percaya J-10 adalah sebuah jet tempur yang memiliki "sedikit banyak" kemiripan dengan IAI Lavi yang dikembangkan Israel dengan tambahan perpaduan teknologi dan dan metode desain yang berbeda dari Lavi.
Pada tahun 2008, Janes mengklaim bahwa J-10 mendapat manfaat dari informasi teknis dari proyek Israel, mengutip para insinyur senior Rusia yang mengatakan bahwa mereka telah mendengar hal ini dari mitra mereka dari China. Meski telah beroperasi sejak tahun 2007, debut J-10C Vigorous Dragon yang dioperasikan Angkatan Udara Pakistan menorehkan prestasi pada Rabu dini hari (7/5/2025) dengan menembak jatuh sedikitnya lima jet tempur India, setidaknya demikian klaim dari Pakistan, salah satunya adalah jet tempur canggih India buatan Prancis, Rafale F3R. Pakistan adalah satu-satunya negara selain China yang mengoperasikan versi terbaru J10, yaitu J-10C.
Meski tidak lepas dari peran pesawat AWACS SAAB Erieye buatan Swedia, performa J-10C dan para pilot Angkatan Udara Pakistan patut diacungi jempol. Disebutkan J-10C setidaknya telah menghempaskan satu Rafale, dua Mirage 2000, satu Sukhoi Su-30MKI dan satu Mig-29 milik Angkatan Udara India ke darat. Tidak lama setelah pertempuran ini, saham Dassault di pasar saham Eropa anjlok hingga 6%. Sebaliknya, CAC China, yang memproduksi jet JF-17 dan J-10 yang digunakan oleh Angkatan Udara Pakistan, mencatat kenaikan harga saham sebesar 11,85%.
J-10C adalah jet tempur bermesin tunggal, sekelas dengan F-16 Amerika Serikat dan IAI Lavi Israel, sedangkan yang ditembak jatuh adalah pesawat tempur kelas berat bermesin ganda dengan avionik, radar dan daya muat senjata yang lebih banyak. Namun jet-jet tempur yang dikerahkan AU India tersebut tidak didukung oleh pesawat komando AWACS atau pesawat yang mampu melancarkan peperangan elektronik dan memandu pesawat tempur di garis depan.
Menurut analis pertahanan China, J-10 tidak hanya meniru kemampuan tempur Barat yang canggih seperti F-16V di berbagai bidang seperti deteksi radar, keterlibatan di luar jangkauan visual, dan integrasi avionik. Sebaliknya, J-10 mewakili filosofi militer alternatif, yang menekankan otonomi dalam negeri dari rantai logistik dan struktur komando Barat.
Dalam latihan internal, Angkatan Udara China menggunakan jet-jet tempur mereka seperti J-10C, J-16 buatan dalam negeri, dan Su-35 buatan Rusia. Dalam beberapa kali latihan itu J-10C dilaporkan secara konsisten memenangi simulasi pertempuran melawan jet tempur Su-35 dan J-16 selama tiga kali latihan berturut-turut dari tahun 2019 hingga 2021. J-10C disebutkan memiliki keunggulan dalam hal tanda radar yang lebih rendah atau semi siluman, sensor dan persenjataan yang jauh lebih canggih untuk pertempuran dalam jarak visual dan diluar jangkauan visual dibanding kedua jet yang juga milik AU China.
Doktrin Peperangan Udara Pakistan Yang Update
Keputusan Pakistan untuk mengakuisisi J-10 menggarisbawahi pergeseran ini. Dengan pembatasan dari AS pada peningkatan F-16 milik Pakistan dan perubahan strategis untuk memasok India dengan varian F-21 secara eksklusif, tak ayal membuat Islamabad berpaling dan memandang tawaran Beijing sebagai sesuatu yang kompetitif secara teknis dan dapat diterima secara politis.
Tidak seperti penjualan senjata konvensional di mana pesawat merupakan produk utama dan sistem pendukung bersifat tambahan, J-10 untuk Pakistan dikirimkan sebagai paket lengkap termasuk sistem komando dan kontrol terpadu, rangkaian rudal, komponen peperangan elektronik dan yang lebih penting adalah rantai pasok dan logistik.
Salah satu kunci keberhasilan J-10C pada pertempuran melawan jet-jet tempur India adalah kemampuannya untuk terhubung dengan radar pesawat lain tanpa mengaktifkan radar aktifnya sendiri. Dengan memanfaatkan data dari radar eksternal, J-10 dapat meluncurkan rudal tanpa mengungkap posisinya.
Dalam insiden 7 Mei, Pakistan memanfaatkan radar Erieye yang dipasang pada pesawat SAAB 2000 buatan Swedia untuk mendeteksi dan mengunci target. Pakistan memiliki sembilan unit pesawat ini, termasuk satu yang diterima terakhir dari Swedia pada Agustus 2024. Kombinasi ini memungkinkan J-10 melancarkan serangan tanpa terdeteksi oleh musuh.
J-10C, varian yang digunakan Pakistan, memiliki persenjataan modern. Dilengkapi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan misil udara-ke-udara jarak jauh PL-15 dengan jangkauan hingga 140 mil, serta misil jarak pendek PL-10. Kemampuan peperangan elektroniknya juga mampu mengacau komunikasi dan radar musuh, seperti yang diklaim saat mengganggu Rafale India pada 29 April 2025.
Pada tanggal yang sama, Angkatan Udara Pakistan merilis video melalui kanal Youtube resmi mereka, sebuah video yang menunjukkan, untuk pertama kalinya, satu unit pesawat tempur JF-17 Block III (yang juga buatan China) dipersenjatai dengan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15 yang lagi-lagi juga buatan China. Rudal inilah yang kemudian merontokan jet-jet tempur India.
Sementara Pakistan menerima gelombang pertama rudal PL-15 pada tahun 2021, menurut data Janes, video baru tersebut memberikan bukti resmi bahwa rudal tersebut telah terintegrasi dengan JF-17 Block III. Sebelumnya dilaporkan bahwa varian Block III memasuki layanan Angkatan Udara Pakistan (PAF) pada tahun 2023. Dalam video yang sama, PAF juga menunjukkan J-10C dalam skema warna kamuflase hijau-abu-abu, dilengkapi dengan rudal PL-15 pada bagian bawah sayap.
Dikembangkan oleh Aviation Industry Corporation of China (AVIC), PL-15 telah berada dalam dinas militer China sejak 2016. Dirancang sebagai versi yang disempurnakan dari PL-12 sebagai rudal di luar jangkauan visual (Beyon Visual Air-to-Air Missile-BVRAAM) sebelumnya, PL-15 dilengkapi dengan sistem radar active electronically scanned array (AESA) dan mampu melaju dengan kecepatan Mach 4.
Janes memperkirakan bahwa PL-15 memiliki jangkauan maksimum 300 km. Sebaliknya, rudal PL-12 (SD-10/10A) sebelumnya, yang juga dimiliki Pakistan, diperkirakan memiliki jangkauan maksimum 70-100 km. Dalam video PAF, pesawat JF-17 Block III menampilkan nomor seri 22-311 dan juga dilengkapi dengan AAM berpemandu inframerah pencitraan jarak pendek (IIR) PL-10 yang dipasang di ujung sayap. Pesawat tersebut tidak memiliki lambang skuadron.
Melalui koordinasi dengan sistem AWACS (Airborne Warning and Control System) milik Pakistan yang menambah jangkauan serangan J-10, menjadikannya lebih efektif melawan pesawat canggih seperti Rafale. Investasi China dalam peperangan elektronik telah tumbuh secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh ambisinya untuk menutup kesenjangan teknologi dengan kekuatan Barat. Sistem seperti KG600, yang digunakan pada pesawat China lainnya, dirancang untuk mengganggu frekuensi radar di seluruh spektrum yang luas, yang berpotensi memengaruhi radar AESA seperti RBE2 milik Rafale.
Dalam konflik terbaru, J-10C Pakistan berhasil mengeksploitasi kelemahan Rafale India melalui taktik cerdas. Dengan bantuan Erieye, J-10 dapat mengunci target dari jarak jauh, meluncurkan misil, dan menghindari deteksi. Kemampuan ini menunjukkan bahwa J-10 bukan hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga strategi tempur yang terkoordinasi dengan baik.
Saat ini, J-10C bukan sekadar ekspor yang sukses. Ini adalah bukti kemajuan industri dirgantara China. Dengan kecepatan, kemampuan siluman, radar canggih, dan persenjataan modern, ditambah dukungan sistem seperti Erieye, J-10 menjadi ancaman mematikan di udara dan sebuah tantangan dari China terhadap dominasi Barat dalam standar kekuatan udara dan upaya yang disengaja untuk menulis ulang buku pedoman operasional. Dan semoga pemerintah Indonesia bisa memetik pelajaran dari peristiwa ini dengan mengkaji ulang dan memperbarui doktrin pertempuran udara TNI AU.
Video: Courtesy of Pakistan Air Force
Investortrust, dari berbagai sumber.

