Menunggu sang ‘Raja Otomotif’ Tancap Gas
JAKARTA, investortrust.id - Siapa tak kenal Astra, sang “raja otomotif" Indonesia? Ya, di Indonesia, mobil-mobil keluaran PT Astra International Tbk, mulai Toyota, Lexus, Daihatsu, Isuzu, UD Truck, hingga Peugeot bisa dijumpai di mana pun.
Asal tahu saja, pangsa pasar mobil Astra kini mencapai 56%. Itu artinya, dari setiap 100 mobil yang berseliweran di jalanan, 56 di antaranya adalah mobil-mobil keluaran emiten bersandi saham ASII tersebut.
Sepanjang tahun lalu, nomine The Best Investortrust Companies 2025 yang bakal dihelat di Hotel Artotel, Jakarta, Selasa (27/5/2205), ini membukukan penjualan mobil sebanyak 482.964 unit dari total 865.723 unit penjualan nasional secara wholesales (penjualan kepada distributor atau dealer).
Bahkan, di segmen low cost green car (LCGC) alias mobil ramah lingkungan dengan harga terjangkau, pangsa pasar Astra mencapai 74%, dengan penjualan 131.328 unit. Berlanjut ke tahun ini, pada Januari, Astra mencetak penjualan 34.531 unit dibanding total penjualan mobil di pasar domestik 61.849 unit.
Di pasar sepeda motor, Astra lebih super power lagi. Melalui PT Astra Honda Motor (AHM), Astra menguasai sekitar 78% pangsa pasar sepeda motor di Indonesia lewat jenama Honda, dengan total penjualan tahun lalu mencapai 4,9 juta unit dari total pasar nasional sebanyak 6,33 juta unit.
Baca Juga
Astra International (ASII) Tetapkan Dividen Final Rp 308 per Saham, Totalnya Segini
Tentu saja Astra bukan melulu jenama otomotif. Astra juga membawahkan delapan lini bisnis lainnya, yaitu jasa keuangan, alat berat, pertambangan dan energi, agribisnis, infrastruktur dan logistik, teknologi dan digital, kesehatan, properti, serta transportasi dan mobilitas.
Secara holding, Astra kini menaungi sekitar 200 perusahaan dengan 235 ribu karyawan. Didukung lini bisnis yang lengkap dan terdiversifikasi, jangan heran jika Astra disebut sebagai “miniatur ekonomi” Indonesia.
Belum Tancap Gas
Tapi Astra belum mencapai “kecepatan” idealnya. Ibarat mobil sport yang sedang melaju di jalan tol, Astra masih berada di “jalur lambat”. Perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 4 April 1990 ini belum “ngegas”, berlari dengan kecepatan maksimumnya.
Harus diakui, bisnis Astra memang belum terlalu moncer. Tahun lalu, laba bersih grup Astra yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk cuma naik 1% menjadi Rp 34,05 triliun dibanding 2023 (year on year/yoy) sebesar Rp 33,83 triliun jika memperhitungkan penyesuaian nilai wajar PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (kepemilikan 4,34%) dan PT Medikaloka Hermina Tbk (kepemilikan 7,23%).
Pundi-pundi terbesar laba bersih Astra disumbang divisi alat berat, pertambangan, konstruksi, dan energi yang mencapai Rp 12 triliun, turun 5% (yoy). Penyumbang kedua terbesar tiada lain divisi otomotif senilai Rp 11,21 triliun, menurun 2% (yoy).
Sebaliknya, laba divisi properti melonjak 56% (yoy) menjadi Rp 222 miliar, disusul divisi teknologi informasi yang laba bersihnya melambung 43% (yoy) menjadi Rp 156 miliar, diikuti laba infrastruktur logistik yang melesat 37% (yoy) menjadi Rp 1,33 triliun.
Memasuki tahun ini, Astra langsung disergap penurunan kinerja. Astra secara grup di luar penyesuaian nilai wajar atas investasi di GoTo dan Hermina membukukan laba bersih Rp 7,4 triliun pada kuartal I-2025, turun 9% dari kuartal I-2024.
Jika memperhitungkan penyesuaian nilai wajar investasi di GoTo dan Hermina, laba bersih grup Astra pada tiga bulan pertama tahun ini turun 7% menjadi Rp 6,9 triliun.
Sejujurnya, kinerja grup Astra pada kuartal I-2025 memang kurang menggembirakan, terutama akibat turunnya kinerja bisnis pertambangan, khususnya batu bara, seiring pelemahan harga dan curah hujan yang tinggi. Penjualan otomotif yang turun juga turut memangkas laba bersih Astra pada tiga bulan pertama 2025.
Baca Juga
“Ini mencerminkan kondisi ekonomi yang masih lemah,” tutur Presiden Direktur Astra International, Djony Bunarto Tjondro.
Toh, Djony optimistis Astra bakal segera tancap gas sejalan dengan pulihnya perekonomian global dan nasional. “Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mendorong perekonomian,” tegas dia.
Saham Masih Undervalued
Terlepas dari itu semua, Astra tetap menunjukkan ketahanan bisnis di tengah tekanan ekonomi domestik dan global. Itu sebabnya, kalangan analis tetap merekomendasikan buy saham ASII di atas level saat ini Rp 4.750.
“Kami merekemendasikan buy saham ASII dengan target harga Rp 5.800,” kata analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano dalam risetnya.
Penurunan kinerja Astra secara grup sebagian besar disebabkan turunnya kinerja PT United Tractors Tbk (UNTR), anak usaha di sektor alat berat dan pertambangan, yang labanya anjlok 30% (yoy).
Namun, secara keseluruhan, segmen otomotif yang menyumbang 37% laba bersih grup hanya turun 4% (yoy). “Ini mencerminkan ketahanan portofolio bisnis yang terdiversifikasi,” ujar Victor Stefano.
Kontraksi yang dialami Astra pada kuartal I-2025, menurut analisis BRI Danareksa Sekuritas, kemungkinan tak berlanjut ke kuartal berikutya. Terlebih manajemen Astra telah menyatakan terlalu dini untuk menyimpulkan pasar selama full year akan terus mengalami kontraksi seperti pada kuartal I-2025.
“Soalnya, secara historis, penjualan pada kuartal I memang selalu rendah,” tutur analis BRI Danareksa Sekuritas, Naura Reyhan Muchlis.
Dari sisi penjualan otomotif, manajemen Astra telah menegaskan ekspektasinya bahwa pasar mobil nasional masih tangguh dengan estimasi penjualan setahun penuh bakal tembus 820-865 ribu unit.
“Tapi memang ada risiko penurunan pada kuartal II. Selain pelemahan ekonomi secara umum, pada April dan Mei beberapa provinsi telah menghentikan subsidi pajak opsen,” kata Naura Reyhan Muchlis.
Baca Juga
Dukungan terhadap kinerja bisnis Astra bakal datang dari layanan purnajual. Selain itu, Astra berencana meluncurkan mobil hibrida tujuh penumpang dengan harga terjangkau yang dapat memperkuat posisi Astra di segmen kendaraan ramah lingkungan.
“Hingga kini, kompetisi dari merek China di segmen hybrid masih terbatas. Itu memberi ruang bagi Astra untuk tumbuh,” tandas Victor Stefano.
Kendaraan roda dua juga mengalami penurunan penjualan sebesar 3% (yoy) akibat lemahnya daya beli yang dipengaruhi gelombang pemberhentian hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur dan hasil panen yang belum optimal.
“Namun, prospek penjualan diperkirakan membaik pada kuartal II dan III, didukung stabilnya harga komoditas, hasil panen yang diperkirakan membaik, dan bansos,” papar Victor Stefano.
Di segmen multifinance, Astra sesungguhnya juga menghadapi tantangan dari kondisi likuiditas yang lebih ketat. Hanya saja dampaknya terhadap biaya dana (cost of fund/CoF) masih terbatas, cuma naik 20 basis poin (yoy).
Baca Juga
Naik Tipis, Astra International (ASII) Cetak Laba Bersih Rp 34,05 Triliun Sepanjang 2024
“Net interest margin (NIM) dan rasio kredit bermasalah (NPL) pun masih dalam batas wajar. Terlebih Astra menerapkan strategi kehati-hatian dalam pemberian uang muka, terutama di segmen pembiayaan sepeda motor, demi menjaga kualitas aset,” papar Victor Stefano.
Dengan valuasi saham ASII saat ini di level 0,9 kali price to book value (PBV) —di bawah rata-rata historis lima tahun— risiko penurunan harga saham ASII relatif terbatas. Atas dasar itu pula, BRI Danareksa Sekuritas menilai saham ASII masih undervalued alias di bawah harga fundamentalnya dan layak dikoleksi oleh para investor jangka panjang.

