OJK: Sektor Jasa Keuangan Masih Terjaga di Tengah Tingginya Dinamika Perekonomian dan Volatilitas Pasar Keuangan Global
JAKARTA, investortrust.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga di tengah-tengah tingginya dinamika perekonomian dan volatilitas pasar keuangan global.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkapkan, perkembangan pada April 2025 didominasi oleh meningkatnya ketidakpastian kebijakan perdagangan global, terutama terkait rencana pengenaan tarif impor secara resiprokal oleh Amerika Serikat (AS). Menurut Mahendra, kebijakan ini mendorong lonjakan volatilitas di pasar keuangan global, meskipun Presiden Donald Trump mengumumkan penundaan pemberlakuan tarif tersebut selama 90 hari sebagai bagian dari potensi negosiasi perdagangan antara AS dan Tiongkok.
"Ketegangan perdagangan antara kedua negara tetap meningkat. Tingginya ketidakpastian akibat dinamika perdagangan global ini mendorong lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO untuk merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global," ujar Mahendra dalam acara Konferensi Pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan dan Kebijakan OJK Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan April 2025 yang diselenggarakan secara virtual di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Lebih lanjut, Mahendra pun mencontohkannya dengan IMF yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 menjadi 2,8%, jauh lebih rendah dibandingkan rerata historis tahun 2000 sampai 2019 sebelum pandemi Covid-19, yang berada di level 3,7%. Sementara itu, WTO merevisi proyeksi volume perdagangan barang global menjadi terkontraksi 0,2%, dari sebelumnya diperkirakan tumbuh 2,7%.
"Di Amerika Serikat, meskipun data ketenagakerjaan relatif solid, sejumlah indikator aktivitas ekonomi terbaru mengindikasikan perlambatan. Hal ini tercermin dari inflasi, tingkat kepercayaan konsumen, dan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 ini," ungkap Mahendra.
Sejalan dengan kondisi tersebut, Mahendra membeberkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS tahun ini diproyeksikan turun menjadi 1,4%, dari proyeksi sebelumnya sebesar 2%. Bank Sentral AS mulai memperkirakan penurunan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) secara lebih agresif, dengan pemangkasan pertama diprediksi terjadi pada bulan Juni tahun ini.
"Sementara itu, di Tiongkok, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tercatat cukup solid, terutama didorong oleh kinerja sektor manufaktur. Pertumbuhan ini sebagian besar berasal dari strategi front-loading ekspor untuk mengantisipasi pemberlakuan tarif tambahan dari Amerika Serikat. Dari sisi permintaan, meskipun masih lemah, terdapat indikasi perbaikan yang terlihat dari peningkatan inflasi inti dan penjualan ritel di RRT," jelas Mahendra.
Di dalam negeri, kata Mahenendra, perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 4,87% pada triwulan I 2025. Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tetap terjaga. Inflasi headline pada April juga tetap terkendali di level 1,95% year on year, sementara inflasi inti stabil di level 2,5%, yang mencerminkan permintaan domestik yang sehat.
"Beberapa indikator permintaan domestik lainnya, seperti penjualan ritel, semen, dan kendaraan bermotor, juga menunjukkan pemulihan yang masih berlangsung, meskipun dengan laju yang moderat," kata Mahendra.
Kemudian, dari sisi produksi, kinerja masih tergolong baik, yang tercermin dari berlanjutnya surplus neraca perdagangan serta kinerja positif emiten. Dimana, rilis kinerja tahun 2024 secara umum menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun 2023.
"Seiring ketidakpastian global yang meningkat akibat kebijakan tarif dagang AS serta indikator ekonomi global yang cenderung bergerak melemah, OJK terus memantau dinamika global dan domestik, serta melakukan stress test untuk melihat dampaknya terhadap sektor jasa keuangan," terang Mahendra.
Mahendra menambahkan, saat ini, sektor jasa keuangan nasional dinilai tetap resilien, dengan tingkat permodalan yang solid dan kemampuan menyerap potensi risiko yang meningkat. OJK juga meminta lembaga jasa keuangan secara proaktif melakukan asesmen atas perkembangan terkini dan melakukan asesmen lanjutan atas dampak kebijakan penerapan tarif yang dapat mempengaruhi kinerja debitur khususnya yang memiliki eksposur langsung pada sektor terdampak.
"Sehingga mampu mengambil langkah antisipatif dalam memitigasi peningkatan risiko, termasuk membentuk pencadangan yang memadai," pungkas Mahendra.

