Hipmi Minta Waspadai Framing Negatif Asing soal Tambang Nikel di Raja Ampat
JAKARTA, investortrust.id - Sekjen Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira meminta masyarakat mewaspadai framing dan narasi negatif yang dilancarkan aktor asing terkait polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kampanye yang mendikotomikan aktivitas pertambangan dengan isu lingkungan dan konservasi kerap dimanfaatkan sebagai alat politik dan ekonomi oleh aktor asing. Menurutnya, framing negatif terhadap industri tambang nasional dapat berdampak pada citra investasi, daya saing global, dan stabilitas kebijakan hilirisasi.
"Tak dapat dimungkiri, kampanye lingkungan kerap dimanfaatkan sebagai alat politik dan ekonomi oleh aktor asing. Framing negatif terhadap industri tambang nasional dapat berdampak pada citra investasi, daya saing global, dan stabilitas kebijakan hilirisasi," kata Anggawira dalam keterangannya, Minggu (8/6/2025).
Baca Juga
Polemik Tambang di Raja Ampat, MPR Minta Penambang Nakal Diganjar Hukuman Berat
Anggawira mengatakan, kritik yang membangun harus diterima. Namun, publik harus waspada dan tegas terhadap narasi tak berimbang yang menggerogoti kepentingan nasional.
"Apalagi jika dilakukan oleh pihak yang justru di negara asalnya menjalankan praktik ekstraktif tanpa kontrol lingkungan ketat," katanya.
Anggawira menekankan, Indonesia masih sangat membutuhkan industri pertambangan. Bukan hanya sebagai penyumbang devisa, tetapi juga sebagai pilar penting menuju transisi energi dan kemandirian ekonomi nasional. Menurut dia, tambang merupakan penopang rantai pasok baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global.
"Tanpa nikel dan tembaga dari Indonesia, dunia akan menghadapi kekurangan pasokan untuk teknologi masa depan," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) itu menyatakan, kontribusi pertambangan sangat signifikan bagi ekonomi nasional, yakni mencapai 6-7% terhadap PDB. Sektor ini juga menyerap ratusan ribu tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung. Sumbangan melalui PNBP dan royalti juga konsisten meningkat.
Apalagi, kata Anggawira, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba mempertegas komitmen Indonesia dalam mengelola tambang berbasis kepastian hukum dan nilai tambah. Pemerintah juga mengatur pelaksanaan kegiatan melalui PP Nomor 96 Tahun 2021 yang mendorong hilirisasi, pengawasan lingkungan, dan pelibatan masyarakat.
"Namun tantangan utama bukan lagi pada regulasi, melainkan pada penegakan, konsistensi, dan transparansi. Di sinilah pemerintah dan pelaku industri perlu terus mendorong perbaikan," paparnya.
Baca Juga
ESDM: Pertambangan Nikel di Pulau Gag Raja Ampat Tidak Bermasalah
Ditekankan, berbagai perusahaan tambang di Indonesia telah membuktikan operasi tambang dapat berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat. Dicontohkan, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melalui anak usahanya Kaltim Prima Coal dan Arutmin aktif menjalankan reklamasi dan konservasi biodiversity, serta mendapat Proper Hijau dari KLHK.
Begitu juga PT Merdeka Copper Gold Tbk yang menjalankan tambang emas berkelanjutan di Banyuwangi dan memelopori tambang tembaga di Sulawesi Tengah dengan pendekatan community empowerment dan transparansi operasional. Demikian pula dengan PT Vale Indonesia yang sukses dengan program revegetasi dan restorasi lahan pasca-tambang, serta pembangunan smelter untuk hilirisasi nikel. Kemudian, PT Freeport Indonesia menjadi pionir tambang bawah tanah dan pembangunan smelter Gresik untuk mendukung hilirisasi tembaga.
"Begitu juga PT Bukit Asam (PTBA) berhasil mengubah area tambang menjadi kawasan ekowisata dan pertanian produktif. Program Proper KLHK menunjukkan apresiasi nyata pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan prinsip green mining. Tahun 2023, lebih dari 30 perusahaan tambang meraih Proper Hijau dan Emas," paparnya.
Anggawira menegaskan Indonesia tidak bisa dan tidak boleh bergantung pada narasi asing dalam mengelola kekayaan alamnya. Indonesia, katanya, membutuhkan tambang yang legal, berkelanjutan, inklusif, dan modern.
"Kita juga butuh publik yang objektif dan tidak terjebak pada generalisasi akibat satu-dua kasus," katanya.
Di sisi lain, katanya, pemerintah harus melindungi perusahaan yang patuh hukum dan memberikan insentif nyata bagi mereka yang menerapkan praktik terbaik. Di saat yang sama, penegakan hukum terhadap pelanggaran harus tegas tanpa pandang bulu.
"Indonesia mampu menjadi contoh dunia dalam tata kelola tambang berkelanjutan, selama kita memimpin narasi kita sendiri," tegasnya.

